“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” 2 Timotius 3: 16

Tidak terasa, sekarang sudah bulan September. Waktu berjalan cepat, sekalipun dengan adanya pandemi hampir semua kegiatan manusia tidak dapat dijalankan dengan lancar. Dengan adanya berbagai pembatasan kegiatan masyarakat, orang tidak bebas untuk pergi ke tempat yang biasanya dituju setiap hari, entah itu sekolah, kantor, toko dan sebagainya. Hari demi hari dilalui, tetapi bagi kebanyakan orang hidup ini terasa membosankan karena tidak ada yang berbeda. Tidak ada pengalaman yang menarik yang bisa diperbincangkan dengan keluarga, dan mungkin tidak ada pengalaman yang bisa dipakai sebagai pelajaran hidup.
Pada umumnya semakin tua umur manusia, semakin banyak pengalamannya. Biasanya, pengalaman yang buruk bisa mencegah seseorang untuk melakukan hal yang sama di masa depan. Sebaliknya, pengalaman yang baik dan menyenangkan membuat orang tertarik untuk mencobanya lagi jika ada kesempatan. Pengalaman adalah guru yang terbaik, begitulah kata orang. Benarkah?
Untuk hal-hal tertentu, dalam keadaan tertentu, memang apa yang pernah dilihat, dirasakan dan dialami, bisa memberi pelajaran dan pengertian. Dalam ilmu pengetahuan, hal semacam ini dikenal dengan pendekatan empiris, yang sering bertentangan dengan pendekatan rasionalis. Bukti empiris adalah informasi yang didapat melalui pengalaman, sedangkan bukti rasionalis berasal dari pemikiran akal budi.
Para pendukung metode empiris berpendapat bahwa informasi yang diperoleh secara empiris yaitu observasi, pengalaman dan percobaan, berguna sebagai pemisah antara pendapat-pendapat yang ada. Dengan pengalaman pribadi yang pernah dialami, orang bisa menolak pendapat orang lain, nasihat guru atau orang tua dan bahkan firman Tuhan. Apa yang pernah dialami akan cenderung dipercayai, sedangkan apa yang tidak pernah terjadi atau terlihat dalam hidup, sering diabaikan. Bagaimana dengan pengalaman selama hidup dalam suasana pandemi ini? Sebagian orang bisa merasa bahwa Tuhan itu sungguh mahakasih, tetapi bagi orang lain Tuhan itu kejam.
Sebenarnya, selama manusia hidup selalu ada saja yang bisa diambil makna dan gunanya. Bagi banyak orang, adanya pandemi bisa membuat mereka merenungkan apa arti hidup ini dan memikirkan apa yang seharusnya mendapat prioritas utama. Pengalaman memang bisa membuat manusia lebih kuat dan bijak, tetapi juga dapat membawa kehancuran.
Secara umum, karena pengalaman seseorang belum tentu bisa dialami orang lain, dan juga karena pengalaman tergantung situasi dan kondisi, apa yang dirasakan sebagai kebenaran di saat ini, belum tentu benar di masa depan. Karena itu, pengalaman seseorang belum tentu membawa kebenaran dan belum tentu bisa menjadi guru yang terbaik untuk kita.
Dalam kehidupan iman, kita juga dihadapkan dengan berbagai ajaran dan praktik kekristenan yang beraneka ragam. Pada umumnya, keragaman adalah lumrah karena tiap manusia adalah individu yang berbeda, yang mempunyai pengalaman dan pengertian yang berlainan. Walaupun demikian, ayat di atas menjelaskan bahwa firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab, harus dipegang sebagai pedoman untuk memperoleh kebenaran. Kita harus sadar bahwa apa yang kita dengar dan saksikan dalam hidup ini mungkin bersumber pada pengalaman pribadi seseorang, yang sehebat atau seajaib bagaimanapun, tidak dapat dianggap setara dengan firman Tuhan. Apalagi kalau pengalaman itu hanya mendatangkan ketenaran untuk manusia dan bukannya memuliakan Tuhan.
Perlu kita sadari bahwa metode empiris yang berdasarkan pengalaman pribadi, jika dipakai untuk mempelajari Firman, bisa menghasilkan sesuatu yang kurang cocok dengan Firman itu sendiri. Begitu juga dengan metode rasional yang hanya berdasarkan akal budi, tidak akan dapat menjajaki kedalaman firman Tuhan. Karena itu, setiap orang percaya harus mau mempelajari firman Tuhan dengan iman, menggumuli dan menerapkannya dalam hidup dengan bimbingan Roh Kudus. Pengalaman hanya bisa menjadi guru yang terbaik sesudah dibandingkan dengan kebenaran yang ada dalam Alkitab.
“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Mazmur 119: 105