“Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: Hai orang jahat, engkau pasti mati! dan engkau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu supaya bertobat dari hidupnya, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu.” Yehezkiel 33: 8

Bagi orang Kristen, kisah orang Samaria yang baik hati tentunya sudah cukup familiar. Perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati itu (Lukas 10: 30-37) biasanya ditafsirkan oleh umat Kristen sebagai ajaran untuk mengasihi semua orang, termasuk orang yang mungkin dianggap sebagai “orang luar”.
Apa yang sudah dilakukan orang Samaria dalam perumpamaan itu agaknya di luar dugaan siapa saja. Sebab, orang Samaria adalah orang yang dimusuhi dan dibenci oleh orang Jahudi. Karena itu, si korban (orang Yahudi) dalam kisah tersebut tentunya sama sekali tidak mengharapkan pertolongannya. Namun, dari ketiga orang yang sudah melihatnya, justru orang Samaria itulah yang bersedia menolongnya.
Frase “orang Samaria yang murah hati” kemudian menjadi ungkapan sehari-hari bagi seseorang yang bersedia menolong orang lain, bahkan yang tidak dikenalnya sekalipun. Sayang sekali, saat ini di banyak negara orang harus mengerti apakah ada hukum (the Good Samaritan law) yang melindunginya dari kemungkinan tuntutan hukum jika ia melakukan kekeliruan dalam usaha menolong orang lain. Memang, jika kita tidak yakin bisa menolong, maksud baik kita justru bisa membawa akibat yang buruk bagi orang lain. Sebaliknya, tidak ada hukum yang mengharuskan orang untuk berusaha menolong orang lain yang mengalami kecelakaan.
Kisah ini sebetulnya cukup dramatis. Bagi orang Samaria itu, orang yang ditolongnya bukan saja berasal dari kaum yang berbeda, tetapi dari kelompok yang selama ini menghina, membenci dan mengasingkan kaumnya. Sebagai seorang Kristen, di mana mengasihi sesama manusia adalah sebuah perintah Yesus yang wajib untuk dilaksanakan, kita wajib belajar dari kisah ini. Selagi seseorang masih disebut sebagai “seorang manusia” maka kita wajib mengasihinya. Kasih yang dimaksud juga harus lintas suku, agama, negara dan ras. Bahkan, kita wajib mengasihi orang yang membenci, mencaci maki, atau bahkan mengasingkan kita, yang bisa disebut sebagai orang jahat, musuh kita.
Adakah untungnya bagi orang yang bermaksud baik untuk memberi nasihat bagi orang lain jika ada kemungkinan bahwa nasihat itu akan ditolak mentah-mentah dan bahkan bisa dijadikan alasan untuk mengadakan permusuhan? Ini adalah pertanyaan yang mungkin muncul dalam setiap orang dari kecil. Memang, orang sering mempunyai keinginan untuk menolong orang lain, setidaknya untuk memberi nasihat. Tetapi, dari kecil mungkin kita sudah belajar untuk mengabaikan adanya hal-hal yang kurang baik dalam masyarakat. Mungkin dari orang tua atau teman, kita belajar untuk tidak mencampuri urusan orang lain. Itu adalah demi keselamatan atau kenyamanan kita sendiri.
Jika seseorang berusaha menasihati orang lain, ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya. Ada orang yang hanya ingin menunjukkan kemampuan dan kehebatannya. Ada juga orang yang cenderung ingin mempersalahkan, menghakimi atau merendahkan orang lain. Tetapi, ada juga orang yang benar-benar ingin agar orang lain sadar akan adanya hal yang tidak benar. Dalam semua itu, orang yang dinasihati bisa saja merasa bahwa dirinya dipermalukan atau diserang sehingga ia menjadi defensif, ingin membela diri.
Bagaimana sebenarnya panggilan orang Kristen dalam menghadapi situasi di sekelilingnya? Bolehkah orang Kristen untuk berdiam diri melihat sesama kita yang melakukan hal yang jahat dalam pandangan Allah? Ayat di atas adalah pernyataan Tuhan yang khusus kepada Yehezkiel, tetapi bisa diterapkan prinsipnya untuk semua orang Kristen yang hidup di mana pun. Prinsip yang harus kita pegang, bahwa kita ikut bertanggung-jawab atas kesalahan yang dilakukan orang lain, yang bisa kita lihat sendiri.
Jika kita tahu bahwa orang lain melakukan kesalahan dan kita hanya berdiam diri, kita sudah ikut bersalah di hadapan mata Tuhan. Setiap orang Kristen dipanggil untuk ikut berpartisipasi dalam menegakkan kebenaran, bukan saja dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, masyarakat dan gereja, tetapi juga dalam hidup bernegara. Semua itu tentunya harus dilakukan dengan kasih dan untuk kemuliaan Tuhan. Semoga Tuhan menguatkan umat-Nya. Kita bisa melihat dari contoh Yesus yang selama hidup di dunia tidak ragu-ragu menegur orang lain, sekalipun itu menyebabkan kemarahan mereka. Itu karena Ia tahu bahwa All;ah mengasihi semua orang. Dengan demikian, panggilan kita untuk hari ini tetaplah sama, yaitu agar kita berani menyatakan apa yang benar dan yang tidak benar menurut apa yang difirmankan Tuhan agar banyak orang yang bisa bertobat dari cara hidup mereka.