Menyadari kebesaran Tuhan melalui penderitaan

“Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung.” 1 Petrus 2: 19

Sejak adanya pandemi Covid-19 banyaklah orang yang mengalami berbagai masalah kejiwaan. Memang, gangguan kejiwaan adalah salah satu masalah kesehatan yang terbesar yang bisa dialami masyarakat di negara mana pun. Ini bukan saja berhubungan dengan gangguan medis, tetapi juga bisa bertalian dengan berbagai masalah sosial dan ekonomi. Apalagi, dalam masyarakat modern hubungan manusia yang sangat individual dan mundurnya kerohanian membuat orang yang mengalami masalah kehidupan merasa bahwa hidup mereka sangat berat untuk bisa diatasi seorang diri.

Banyak orang yang mengalami masalah kehidupan yang berat bertanya-tanya mengapa itu harus terjadi, dan itu adalah hal yang wajar. Mereka yang harus menderita bukan karena perbuatan mereka, tentu saja sulit untuk mengerti mengapa ketidak-adilan harus mereka alami. Dan mereka yang sudah bekerja keras tetapi tetap mengalami kesulitan sering merasa bahwa usaha mereka sia-sia. Mereka yang tidak tahan menghadapi penderitaan hidup seperti ini, kemudian bisa mengalami tekanan batin yang besar.

Ayub sebagai manusia yang mengalami penderitaan yang luar biasa karena berbagai malapetaka (Ayub 1: 13 – 20), tentunya tidak terluput dari perasaan sedih. Jika tidak, ia bukanlah manusia yang normal. Walaupun demikian, reaksi Ayub sungguh mengherankan. Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1: 21).

Bagaimana Ayub bisa menanggapi tragedi dalam hidupnya dengan tetap berpikir positif dan tidak mengalami kehancuran? Apakah Ayub adalah orang yang luar biasa, orang stoik yang sanggup menghadapi segala penderitaan dengan keteguhan hati? Tidakkah ia merasa bahwa Tuhan adalah Oknum yang kejam dan semena-mena? Tuhan sudah mempermainkan hidupnya!

Ayat pembukaan dari 1 Petrus 2: 19 menyebutkan bahwa adalah kasih karunia, jika seseorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan duniawi yang tidak harus ia tanggung. Ayub dapat menanggung penderitaannya dengan tenang karena Tuhan memberi Ayub kesadaran bahwa Ia menyukai sikap hidup yang menerima penderitaan dengan kesabaran. Tuhan memang menyukai orang-orang yang menyerahkan hidup mereka kepada kehendak-Nya.

Mereka yang tetap percaya kepada Tuhan dalam segala keadaan, adalah orang-orang yang percaya bahwa Tuhan yang mahakuasa tentu dapat juga mengubah penderitaan untuk menjadi sukacita. Bagi mereka, kasih dan kemuliaan Tuhan akan terlihat dengan nyata pada akhirnya. Ini jugalah yang terjadi dalam hidup Ayub dan dalam hidup setiap orang yang beriman. Tuhan bukanlah Tuhan yang membuat umat-Nya menderita tanpa suatu alasan yang baik.

Mungkin pelajaran terbesar yang kita pelajari dari pengalaman Ayub adalah bahwa Tuhan tidak harus menjawab siapa pun atas apa yang Dia lakukan atau tidak lakukan. Pengalaman Ayub mengajarkan kita bahwa kita mungkin tidak pernah tahu alasan spesifik dari penderitaan seseorang, tetapi kita harus percaya kepada Allah kita yang berdaulat, kudus, dan adil.

Adapun Allah, jalan-Nya sempurna; janji Tuhan adalah murni; Dia menjadi perisai bagi semua orang yang berlindung pada-Nya. Mazmur 18: 31

Karena jalan Tuhan sempurna, kita dapat percaya bahwa apa pun yang Dia lakukan—dan apa pun yang Dia izinkan—juga sempurna. Kita tidak dapat berharap untuk memahami pikiran Tuhan dengan sempurna, karena Dia mengingatkan kita untuk memilih reaksi yang tepat terhadap firman-Nya:

Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. Yesaya 55:8-9.

Adalah tanggung jawab dan pilihan kita untuk menaati-Nya, memercayai-Nya, dan tunduk pada kehendak-Nya, baik kita memahaminya atau tidak. Ketika kita melakukannya, kita akan menemukan Tuhan di tengah-tengah pencobaan kita—bahkan mungkin karena pencobaan kita. Kita akan melihat dengan lebih jelas keagungan Allah kita, dan kita akan berkata, bersama Ayub, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (Ayub 42:5).

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s