“Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus.” Kolose 2: 16 – 17

Makanan itu sesuatu yang sangat penting di dunia karena tanpa makan, orang tidak dapat hidup. Bukan saja manusia, tetapi semua makhluk di dunia ini perlu makan. Walaupun demikian, manusia sebagai makhluk yang berbudi-daya, tidaklah puas dengan makanan yang sama setiap hari. Manusia tentunya mempunyai diet yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan dan kesehatan tubuhnya. Karena itu, banyak acara TV yang sekarang menampilkan acara kuliner dan masak-memasak.
Alkitab dari awal hingga akhir sering menampilkan hal makan dan makanan. Memang kemampuan untuk makan dan membuat makanan adalah berkat karunia Tuhan, tetapi jika disalahgunakan bisa membawa masalah. Kebanyakan makan sudah jelas tidak baik, apalagi kerakusan mungkin bisa dipandang sebagai salah satu dosa utama oleh sebagian orang. Salah makan, bukan saja bisa membuat perut sakit, tetapi juga dapat mendatangkan masalah kesehatan yang serius dan bahkan fatal.
Dalam hal makanan dan minuman, mayoritas orang Kristen memang bebas untuk mengonsumsi apa saja yang tidak merugikan kesehatan. Ayat di atas menyatakan bahwa karena Kristus sudah menggenapi Taurat, apa yang diharuskan dalam Taurat sebagai bagian dari kehidupan umat Israel yang asli, tidak perlu dilakukan oleh umat Israel yang baru yang terdiri dari berbagai bangsa. Tetapi, bagi sebagian orang hal ini sering menjadi bahan olok-olokan, karena agaknya orang Kristen tidak mengenal hal atau makanan yang haram. Benarkah begitu?
Sesuatu yang “halal” (dari bahasa Arab, artinya “diperbolehkan”) adalah segala objek atau kegiatan yang diizinkan untuk digunakan atau dilaksanakan dalam agama Islam. Istilah ini dalam penggunaan sehari-hari lebih sering digunakan untuk menunjukkan makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut ajaran Islam, menurut jenis makanan dan cara memperolehnya. Pasangan halal adalah thayyib yang berarti “baik”. Suatu makanan dan minuman tidak hanya halal, tetapi harus thayyib; apakah layak dikonsumsi atau tidak, atau bermanfaatkah bagi kesehatan. Lawan halal adalah haram.
Dalam agama Kristen, kata halal tidak sering dibahas. Oleh karena itu, banyak orang mengira bahwa penganut agama Kristen bebas untuk menggunakan segala sesuatu atau melakukan kegiatan apa saja, asal tidak melanggar hukum. Tetapi, anggapan ini sebenarnya tidak lengkap. Paulus dalam 1 Korintus 6:12 menulis bahwa segala sesuatu diperbolehkan, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Dengan demikian, segala sesuatu diperbolehkan, tetapi bukan segala sesuatu membangun (1 Korintus 10: 23). Karena itu bukan segala sesuatu adalah baik untuk dilakukan. Lalu, apakah yang “baik”, yang berguna dan membangun, yang boleh dan patut dilakukan?
Paulus lebih lanjut menyatakan bahwa jika kita makan atau jika kita minum, atau jika kita melakukan apa saja, kita harus melakukan semuanya itu untuk kemuliaan Allah (1 Korintus 10: 31). Dengan demikian, apa yang berguna adalah segala sesuatu yang berguna untuk memuliakan Tuhan dan membangun kerajaan-Nya di dunia. Umat Kristen seharusnya hidup dan memakai hidup mereka untuk menerangi dunia agar makin banyak orang yang bertobat dari hidup lamanya dan kemudian menjadi umat-Nya.
“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Matius 5: 16
Jika salah makan yang dialami seseorang bisa membawa akibat langsung pada keadaan jasmaninya, adakah makanan yang bisa memengaruhi keadaan rohaninya? Pertanyaan ini sering didiskusikan orang Kristen sesudah Yesus menyelesaikan tugas penyelamatan-Nya. Agaknya mengherankan bahwa soal apa yang boleh dan tidak boleh dimakan jarang dipersoalkan oleh Yesus selama Ia hidup di dunia. Dalam hal ini, mereka yang mengerti bahwa tugas utama Yesus adalah untuk menebus dosa manusia tentunya dapat mengerti mengapa Ia tidak mempersoalkan halal atau tidaknya makanan jasmani (Markus 7: 19). Sebaliknya, Yesus mengajarkan bahwa keselamatan manusia tidaklah bergantung pada soal makanan jasmani.
“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya.” Yohanes 6: 27
Pada zaman Perjanjian Lama, hukum Taurat dan segala kaidahnya cukup efektif untuk membimbing dan mempersatukan orang Yahudi dalam soal makan dan makanan. Tetapi masalah makanan mulai muncul dengan pertumbuhan kekristenan dalam masyarakat di luar golongan Yahudi. Memang makanan adalah salah satu produk budaya masyarakat. Setiap masyarakat dan budaya mempunyai cara makan dan jenis makanan yang tersendiri. Orang Yahudi yang merasa lebih tinggi dan beradab dari orang lain tentunya kurang bisa menerima kebiasaan orang lain. Tetapi Tuhan memperingatkan kita bahwa semua makanan adalah halal.
“……Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.” Kisah Para Rasul 10: 15
Hari ini, soal makanan mungkin tidak perlu dipikirkan dalam konteks keselamatan kita atau keselamatan orang lain. Tetapi, memilih makanan yang baik untuk memelihara kesehatan jasmani kita adalah perlu. Selain itu, seperti segi kehidupan lainnya, ada hal-hal yang bisa membawa hidup rohani kita makin terasa dekat kepada-Nya. Kebiasaan yang kita pandang baik untuk mempererat hubungan pribadi kita dengan Tuhan dan sesama sudah tentu baik untuk dipertahankan, tetapi kita harus sadar bahwa itu belum tentu serupa dengan kebiasaan orang lain.