Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” Lukas 10: 41 – 42

Tuhan memegang kendali penuh atas segala sesuatu. Inilah yang dimaksud orang Kristen ketika mereka menyebut Tuhan “berdaulat.” Kedaulatan, atau otoritas Tuhan, adalah mutlak. Rencana-Nya bagi dunia tidak dapat ditantang atau dicegah. Apa yang Tuhan katakan akan terjadi pastilah terjadi. Pada pihak yang lain ada pilihan kita; pilihan praktis dan keputusan moral yang kita buat setiap hari, sesuai dengan kemampuan yang berbeda-beda yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia yang diciptakan menurut gambar-Nya.
Alkitab menunjukkan kepada kita contoh sempurna tentang hubungam kedaulatan Tuhan dan pilihan manusia dalam kematian Yesus. Kematian Yesus di kayu salib dimaksudkan oleh Allah untuk menyelamatkan orang berdosa. Tetapi Yesus dibunuh oleh orang-orang yang menginginkan Dia mati. Mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka, meskipun itu adalah bagian dari rencana Tuhan.
Alkitab mengatakan bahwa kedua hal di atas benar. Bahkan, dalam semua rencana-Nya, Tuhan mampu melewati seluruh pilihan manusia sebagai agen moral, termasuk tindakan dosa yang dipilih secara bebas! Segala sesuatu yang kita lakukan adalah apa yang ingin kita lakukan, sementara juga menjadi bagian dari rencana Tuhan. Semua itu adalah apa yang Tuhan pakai untuk menggenapi rancangan-Nya.
Hubungan antara rencana Tuhan dan tindakan manusia memang sulit untuk kita pahami, apalagi untuk menerimanya. Itu adalah kebenaran yang terlalu besar untuk kita pahami sepenuhnya. Satu yang jelas, setiap orang bertanggung jawab untuk apa yang diperbuatnya. Tuhan selalu memegang kontrol atas segala sesuatu tanpa harus memperlakukan manusia sebagai robot. Tuhan yang mahakuasa tidak akan kuatir atau terkejut melihat tindakan manusia, karena Ia tahu sebelum itu terjadi dan mampu untuk bertindak apa saja untuk mencapai rencana-Nya.
Ayat pembukaan di atas berasal dari bagian Alkitab yang menceritakan bagaimana Yesus dan murid-murid-Nya singgah ke desa Marta dan saudaranya, Maria. Barangkali ada sekitar 70 orang yang bersama Yesus saat itu, dan mungkin banyak juga yang bertamu di rumah kedua perempuan itu. Jika kunjungan itu hanyalah sekadar untuk bertamu, bisa dibayangkan betapa ramainya suasana di sana, mungkin mirip sebuah pesta dan Yesus adalah tamu agungnya. Membaca ayat-ayat di atas, jelas Maria dan Martha mempunyai kemerdekaan untuk memilih apa yang akan dilakukan. Maria dan Martha bahkan harus mau mengambil keputusan atas apa yang harus dilakukan mereka.
Apa yang terjadi ternyata membuktikan bahwa setiap manusia mempunyai kehendak bebas untuk memilih apa yang disenanginya. Maria duduk di dekat kaki Tuhan untuk mendengarkan perkataan-Nya. Sebaliknya, Marta tidak menyempatkan diri untuk mendengarkan pengajaran Yesus. Ia sibuk sekali melayani tamu-tamu dan mungkin juga sibuk dengan mempersiapkan hidangan. Kedua orang itu sudah memilih apa yang baik menurut pikiran masing-masing dan bukan menurut apa yang ditentukan oleh Tuhan. Jika keputusan Martha dan Maria ditetapkan oleh Tuhan, Tuhan tentu tidak akan membandingkan apa yang dipilih mereka!
Sebagai pengikut Yesus, kita mungkin pernah menghadapi hal yang serupa. Kesibukan sehari-hari sering kali mengharuskan kita untuk membagi waktu yang ada untuk bisa melaksanakan berbagai tugas. Mungkin karena terlalu sibuk, kita memilih untuk melakukan apa yang kita anggap lebih penting atau lebih menyenangkan, dan itu mungkin bukan untuk mempelajari firman-Nya atau untuk berbakti kepada Tuhan dengan seluruh anggota keluarga. Seperti Marta kita mungkin sudah memilih apa yang tidak disukai Tuhan, tetapi itu terjadi bukan karena kehendak-Nya. Tuhan mengizinkan kita untuk menggunakan kebebasan kita dan tidak akan selalu memaksa kita untuk memilih apa yang dikehendaki-Nya. Tetapi Roh-Nya tidak henti-hentinya mengingatkan kita tentang apa yang dikehendaki-Nya, seperti Yesus mengingatkan Marta.
Kemerdekaan manusia ada dalam Alkitab sejak penciptaan. Tetapi kemerdekaan yang disertai kebebasan memilih cara hidup dan keputusan dalam hidup tidaklah seperti yang umumnya dibayangkan. Manusia sering berpikir bahwa “nasibmu ada di tanganmu sendiri”, tetapi sering kali kenyataan adalah berbeda, karena walaupun manusia bisa memilih apa yang diingininya, ia tahu bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dipilih atau dikontrol dalam hidupnya. Apalagi, sesudah kejatuhan, manusia yang berdosa secara sadar maupun tidak sadar akan selalu cenderung untuk melakukan apa yang tidak baik di mata Tuhan.
Dalam kegiatan sehari-hari, manusia mempunyai kebebasan untuk mengambil keputusan atas apa yang akan dilakukannya. Tuhan mengizinkan dan bahkan memberi kemampuan bagi manusia untuk mengambil keputusan. Manusia justru tidak dapat meminta Tuhan untuk mengendalikan segala sesuatu dalam hidupnya. Manusia bukanlah robot ciptaan Allah dan Allah tidak mau memperlakukan ciptaan-Nya seperti robot.
“Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.” Kejadian 2: 16-17
Ayat di atas bisa kita pakai untuk membahas hubungan antara rencana Tuhan dan tindakan manusia. Apakah kedaulatan Tuhan bertentangan dengan kemampuan Adam untuk membuat keputusan yang penting dan berdampak besar pada seluruh umat manusia? Apakah Tuhan dengan kedaulatan-Nya sengaja membuat Adam melanggar perintah-Nya agar Ia dapat mengirim manusia yang tidak dipilih-Nya ke neraka? Tentu tidak! Tuhan bukanlah pencipta dosa.
Ada kemerdekaan, ada kebebasan memilih, tetapi ada batasan. Dalam kebebasan yang diberikan Allah, Adam dan Hawa juga dapat melanggar batasan itu, dan harus menanggung konsekuensinya. Dengan menyalahgunakan kemerdekaan itu, pelanggaran batasan terjadi – yang kemudian membawa dosa untuk seluruh umat manusia. Semua itu terjadi bukan karena Tuhan yang membuat mereka berbuat dosa, tetapi karena kehendak manusia sendiri. Sejak itu, manusia tidak lagi hidup dalam jaminan ketenteraman Firdaus, tetapi masuk kedalam ketidakpastian masa depan!
Sesudah kejatuhan, manusia masih mempunyai kebebasan untuk mengambil keputusan. Tetapi karena jauh dari Tuhan, kebebasan malahan sering digunakan manusia untuk menjadi hamba dosa. Ketenteraman hidup yang dulunya ada, berubah menjadi berbagai kesulitan dan penderitaan. Dari sudut rohani, Allah dengan kasih-Nya memberikan kemungkinan agar setiap orang bisa memilih (dengan bimbingan Roh Kudus) apa yang sudah disediakan-Nya, yaitu jalan sempit yang menuju keselamatan dalam Kristus (Matius 7: 13 – 14). Tetapi, tidak semua orang mau menyambut bimbingan Roh Kudus.
Hari ini kita harus sadar bahwa umur kita bukan di tangan kita; dan karena itu, kita harus mengatur hidup kita sebaik-baiknya dengan mengutamakan apa yang terbaik. Kita tidak sepatutnya berpikir bahwa Tuhan sudah memilih kita sebagai anak-anak-Nya dan Ia menerima hidup kita sebagaimana adanya, tanpa mau berubah dari hidup lama kita. Memang ada hal-hal dalam hidup ini yang di luar kendali manusia, tetapi mengatur cara hidup adalah tugas setiap individu.
Tuhan mungkin sudah sering memperingatkan bahwa ada kesempatan bagi kita untuk bisa memilih untuk menjadi seperti Maria yang menggunakan waktu yang ada untuk mendengarkan apa yang dikatakan Tuhan, atau menjadi seperti Marta yang selalu sibuk dengan hal-hal duniawi. Kapankah anda akan mengambil keputusan untuk mencari kehendak-Nya? Pilihan kita, risiko kita. Tuhan memang memegang kontrol atas alam semesta, tetapi Ia tidaklah mengambil alih apa yang menjadi kewajiban kita.