“Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu.” Ibrani 10: 26

Pertanyaan umum bagi banyak orang Kristen adalah, “Apakah saya bisa kehilangan keselamatan saya?” Kemungkinan jawabannya tentu hanya dua: ya atau tidak. Dalam hal ini, saya telah mendengar kedua sisi argumen dan percaya bahwa hanya Tuhan yang benar-benar tahu jawabnya. Alasan terjadinya perdebatan antar umat Kristen adalah karena Alkitab mengajarkan bahwa keselamatan adalah anugerah dari Tuhan yang tidak dapat diperoleh manusia dengan usahanya sendiri, tetapi Alkitab juga memberikan peringatan tentang adanya kemurtadan. Adalah lumrah jika ada ketegangan yang sehat antara kedaulatan Tuhan dan tanggung jawab manusia. Tetapi, isu ini juga sering menimbulkan perpecahan gereja, elitisme golongan, atau superioritas teologi.
Ayat di atas cukup kontroversial dan memiliki interpretasi yang beragam. Bahasa yang digunakan dalam ayat ini dapat diartikan dalam lebih dari satu cara. Sesulit apa pun ayat-ayat ini untuk dijelaskan, ayat-ayat ini tidak boleh ditafsirkan dengan cara yang tidak sesuai dengan isi Alkitab lainnya. Sebagai bagian yang berhubungan dengan kemurtadan, tafsiran pertama atas peringatan dalam ayat ini berlaku untuk orang Kristen yang diselamatkan yang harus menderita hukuman karena ketidaktaatan mereka; atau dalam tafsiran kedua, berlaku pada mereka yang tidak pernah benar-benar diselamatkan, dan yang mengalami murka khusus karena menolak Kristus secara terang-terangan.
Ungkapan Yunani di sini kadang-kadang ditafsirkan sebagai “terus menerus berbuat dosa”, atau sebagai “dengan sengaja berbuat dosa”. Ada perbedaan halus antara ini, dan bagaimana seseorang menafsirkan sisa bagian ini sangat mempengaruhi bagaimana kata-kata ini dipahami. Konteks yang lebih luas dari bagian ini, bagaimanapun, tampaknya mendukung pandangan kedua. Mengapa begitu? Karena tidak mungkin orang Kristen sejati untuk tetap hidup dalam dosa.
“Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia.” 1 Yohanes 3: 6
Dalam kasus mereka yang “terus berbuat dosa”, ini menyiratkan mereka yang sampai pada tingkat pengetahuan tertentu tentang Injil, tetapi pada akhirnya menolaknya demi dosa mereka. Orang-orang seperti itu adalah mereka yang tidak pernah diselamatkan secara sah sejak awal. Maka, peringatan berikut mengacu pada betapa lebih parahnya penghakiman mereka nantinya. Mereka yang memiliki pengetahuan yang lebih besar memiliki tanggung jawab yang lebih besar, khususnya dalam hal rohani (Yohanes 9:41).
Jika rujukan ini dipahami sebagai mereka yang “dengan sengaja berbuat dosa”, tampaknya ini menunjukkan mereka yang telah menerima Kristus secara sah, tetapi dengan sengaja gagal tunduk sepenuhnya pada kehendak-Nya. Memang benar bahwa Alkitab menetapkan suatu pengharapan tertentu bagi mereka yang diselamatkan; yaitu, mereka tentunya diharapkan untuk hidup sebagai orang percaya. Namun, kitab Ibrani ini menunjukkan adanya bahaya untuk jatuh ke dalam ketidaksetiaan dan ketidakpercayaan (Ibrani 3:12–19; Ibrani 6:1–8). Peringatan sebelumnya itu diberikan dengan sangat jelas kepada orang-orang percaya yang telah diselamatkan.
Penulis Ibrani menunjukkan bahwa pengorbanan Kristus adalah satu peristiwa, sekali untuk selamanya (Ibrani 10:12). Oleh karena itu, tidak ada lagi korban tambahan yang dipersembahkan di surga untuk pengampunan dosa (Ibrani 10:18). Ketika dosa benar-benar diampuni, tidak ada lagi korban untuk menghapusnya. Namun, sisi lain dari kebenaran itu terungkap di sini. Mereka yang menolak Kristus menolak satu-satunya korban yang dapat menyelamatkan mereka. Tidak ada, dan tidak akan pernah ada, cara lain untuk menghilangkan dosa.
“Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu.” Ibrani 10:26
Kemurtadan adalah pengkhianatan atau pembelotan yang disengaja. Orang yang murtad adalah mereka yang bergerak menuju Kristus, sampai ke tepi kepercayaan yang menyelamatkan, yang mendengar dan memahami Injil, dan berada di ambang iman yang menyelamatkan, tetapi kemudian menolak apa yang telah mereka pelajari dan berpaling kepada Iblis. Ini adalah orang-orang yang bahkan mungkin sadar akan dosa mereka dan bahkan membuat pengakuan iman. Namun, bukannya mencapai kedewasaan rohani, minat mereka pada Kristus mulai berkurang, karena kenyamanan dan kenikmatan duniawi lebih menarik bagi mereka, dan akhirnya mereka kehilangan semua keinginan untuk mengasihi dan menghormati Tuhan. Mereka merasa bahwa apa yang ada di dunia lebih menarik dari apa yang dijanjikan akan ada di surga.
“Kesengajaan berbuat dosa” dalam perikop ini membawa gagasan penolakan Kristus secara sadar dan sengaja. Mengetahui jalan Tuhan, mendengarnya dikhotbahkan, mempelajarinya, menganggap dirinya sebagai orang beriman, dan kemudian berpaling berarti menjadi orang yang tidak peduli akan Tuhan. Orang seperti itu tidak berbuat dosa karena ketidaktahuan, juga tidak terbawa oleh godaan sesaat mereka terlalu lemah untuk melawannya. Orang berdosa yang sengaja berbuat dosa karena cara hidup yang terasa nyaman dan mapan yang tidak ingin ia tinggalkan. Orang yang sedemikian tidak perlu terlihat sebagai orang yang jahat, tetapi Tuhan menolak mereka karena mereka sudah menolak-Nya.
Pada pihak yang lain, orang beriman sejati bisa jatuh ke dalam dosa dan untuk sementara kehilangan persekutuan dengan Allah. Tetapi pada akhirnya dia akan kembali kepada Tuhan dalam pertobatan karena Allah akan terus mengerjakan dia sampai dia tidak bisa menjauh lagi. Ini berbeda dengan orang yang murtad sejati, yang tidak mau bertobat dan akan terus menerus berbuat dosa dengan sengaja dan kemudian meninggalkan Allah. Yohanes memberi tahu kita bahwa
“Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” 1 Yohanes 3: 9
Orang yang murtad sejati memiliki pengetahuan, tetapi tidak ada aplikasi dari pengetahuan itu. Mereka dapat ditemukan di gereja, di antara umat Allah. Yudas Iskariot adalah contoh yang sempurna – dia memiliki pengetahuan tetapi dia tidak memiliki iman yang sejati. Tidak ada penolak kebenaran lain yang memiliki lebih banyak atau lebih baik paparan kasih dan anugerah Allah daripada Yudas. Dia adalah bagian dari lingkaran murid Yesus, yang makan, tidur, dan bepergian bersama-Nya selama bertahun-tahun. Dia melihat mukjizat dan mendengar firman Tuhan dari bibir Yesus, dari pengkhotbah terbaik yang pernah dikenal dunia, namun dia tidak hanya berpaling tetapi berperan penting dalam rencana untuk membunuh Yesus.
Setelah berpaling dari kebenaran, dan dengan pengetahuan bisa memilih apa yang baik; tetapi dengan sengaja dan terus-menerus berbuat dosa, orang yang murtad tidak dapat diselamatkan karena dia telah menolak satu-satunya korban yang benar untuk dosa: Tuhan Yesus Kristus. Jika pengorbanan Kristus ditolak, maka semua harapan keselamatan hilang. Berpaling dengan sengaja dari pengorbanan ini tidak meninggalkan pengorbanan; ia hanya menyisakan dosa, yang hukumannya adalah kematian kekal. Dengan demikian, ayat di atas tidak berbicara tentang seorang percaya yang murtad, melainkan seseorang yang mungkin mengaku sebagai orang percaya, tetapi sebenarnya tidak. Siapa pun yang murtad membuktikan bahwa dia tidak pernah memiliki iman yang sejati sejak awal.
“Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita.” 1 Yohanes 2: 19
Apakah Tuhan sudah menetapkan orang-rang tertentu untuk menjadi orang murtad sejati dari awalnya? Sebagian orang Kristen percaya akan hal itu. Tetapi, seperti Martin Luther, saya tidak menganut faham itu. Walaupun keselamatan adalah anugerah Tuhan, kita juga memiliki bagian dalam rencana keselamatan-Nya, yaitu tanggung jawab untuk merespons, itulah langkah pertama dari keyakinan yang menyelamatkan jiwa. Dan lebih dari itu, kits memiliki tanggung jawab untuk tetap setia sampai akhir, mengarahkan kehendak kita melalui bimbingan Roh Kudus untuk mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati, yang ditunjukkan dalam ketaatan (Yohanes 14:21), dan untuk tetap dalam persekutuan yang berkesinambungan dengan-Nya.
Jelas bahwa pertanyaan apakah seseorang dapat kehilangan keselamatannya bukanlah pertanyaan yang mudah dijawab. Itu menyentuh kita pada inti kehidupan Kristen kita, tidak hanya berkenaan dengan kepedulian kita terhadap ketekunan kita sendiri, tetapi juga sehubungan dengan kepedulian kita terhadap keluarga dan teman-teman kita, khususnya mereka yang tampaknya, dari semua penampilan luar, telah membuat pengakuan iman yang sejati. Kita mungkin berpikir bahwa pengakuan percaya mereka terlihat kredibel, kita kemudian memeluk mereka sebagai saudara atau saudari seiman, hanya untuk melihat bahwa mereka menyangkal iman itu dalam keseganan mereka untuk mengikutsertakan Tuhan dalam hidup mereka.
Pada akhirnya, hanya Tuhan yang dapat melihat jiwa seseorang, mengubah, dan memeliharanya. Itu adalah kedaulatan-Nya yang tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian, pertanyaan atas bisa hilang atau tidaknya keselamatan itu bukanlah hal yang penting bagi kita, karena itu tidak pernah dijawab dalam Alkitab sebagai “ya” atau “tidak”. Tetapi, adalah lebih penting bagi kita untuk hidup sebagai orang-orang yang sudah diselamatkan, orang-orang kudus, selama hidup di dunia. Itu adalah kehendak Tuhan bagi umat-Nya, dan hanya umat-Nya yang diberi kemampuan untuk melaksanakannya.
“Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” 1 Korintus 9: 26-27