Hal ketakutan dalam rumah tangga

“Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” Kolose 3: 18 – 19

Soal tunduk kepada suami ini sering menjadi bahan perdebatan di kalangan umat beragama. Saya ingin sekali lagi mengulasnya karena banyaknya kasus-kasus penganiayaan domestik (domestic violence) diantara umat Kristen. Penganiayaan ini bisa berupa tindakan fisik, tetapi juga bisa berupa penganiayaan batin. Pasangan suami-istri yang terlihat mesra seperti sepasang merpati di luar, bisa saja hidup seperti singa dan harimau di rumah. Bagaimana perkawinan mereka bisa tetap berjalan sekalipun tidak ada kedamaian dalam rumah tangga?

Untuk disimak, perkawinan di Australia sering kali tidak berlangsung lama. Beberapa data mengenai hal ini:

  • Pada tahun 2017 ada 1 perceraian di antara 2.8 perkawinan
  • Pada tahun 2020 ada 1 perceraian di antara 1.6 perkawinan
  • Kira-kira 50% pernikahan berakhir dengan perceraian
  • Lama perkawinan rata-rata 12 tahun

Di Indonesia mungkin angka perceraian tidaklah seburuk itu karena perceraian sering dianggap membawa aib bagi keluarga. Karena itu, banyak orang yang sebenarnya sudah lama bercerai secara batin sekalipun masih tinggal di bawah satu atap. Mereka yang mungkin masih terlihat seperti pasangan suami-istri yang rajin ke gereja, tetapi sudah tidak sehati-sepikiran.

Mengapa perceraian mudah terjadi? Pertanyaan ini tidak gampang dijawab karena adanya berbagai faktor yang bisa mempengaruhi hubungan antara suami dan istri. Selain faktor usia, ekonomi, pendidikan, kesehatan, kebudayaan dan agama, ada juga faktor-faktor dari luar yang bisa menghancurkan perkawinan.

Adanya persoalan hidup yang berbagai ragam sebenarnya adalah jamak karena itu adalah bagian hidup manusia di dunia. Walaupun demikian, persoalan yang kecil bisa menjadi besar dan persoalan yang bagaimana pun bisa menghancurkan rumah tangga jika tidak segera diatasi.  Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan akan mudah hancur jika tidak ada ikatan yang kuat antara suami dan istri dan komunikasi yang baik dan jujur di antara keduanya.

Ayat di atas adalah ayat yang sering dibahas sebagai pedoman hidup keluarga di kalangan orang Kristen, tetapi juga ayat yang sering menyebabkan perbantahan antara suami dan istri. Mengapa demikian? Dalam ayat itu ada disebutkan bahwa seorang istri harus tunduk kepada suami dan bahwa seorang suami harus mengasihi istrinya. Bagi sebagian kaum wanita, kata “tunduk” sering dipikirkan sebagai kesediaan untuk menjadi seperti hamba yang mau melakukan apa saja yang diminta tuannya. Lebih dari itu, sebagian orang menyangka bahwa istri harus menuruti apa saja yang dimaui suami, sekalipun itu bukan hal yang benar atau yang baik. Tambahan lagi, ada orang Kristen yang berpendapat bahwa tidaklah patut untuk seorang istri merasa lebih pandai, lebih mampu atau lebih bijaksana dari suaminya.

Di zaman modern ini banyak kaum wanita yang memandang bahwa ayat diatas sudah ketinggalan zaman. Bagi sebagian, keharusan untuk tunduk itu dianggap sebagai penyebab kekacauan rumah tangga. Pada pihak yang lain, ada yang berpendapat bahwa kekacauan rumah tangga terjadi karena istri yang selalu tunduk sehingga suami bebas untuk berbuat semaunya. Lalu bagaimana mungkin kata “tunduk” itu bisa muncul dalam Alkitab tidak hanya di kitab Kolose, tetapi juga di kitab Efesus dan Petrus? Dan mengapa “tunduk” merupakan perintah kepada istri, sedang “kasih” ditujukan kepada suami?

Hubungan antara suami dan istri dalam Alkitab ternyata dipakai untuk melambangkan hubungan antara jemaat dan Kristus. Seperti indahnya hubungan antara jemaat dengan Kristus, begitu juga hubungan antara istri dan suami bisa menjadi indah dan langgeng jika mereka menyadari fungsi masing-masing. Seorang suami mempunyai kewajiban untuk melindungi dan mengasihi istrinya seperti Kristus sudah lebih dulu mengurbankan diri-Nya untuk jemaat-Nya.

“Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” Efesus 5: 24 – 25

Pada kenyataannya, banyak suami yang tidak sadar bahwa ia harus bisa mencontoh Kristus yang mau berkurban untuk jemaatNya. Mereka lupa bahwa jika mereka mau menjadi pemimpin, itu bukanlah berarti menjadi majikan. Seorang suami yang baik akan mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri, sama seperti Kristus yang mengasihi jemaat (Efesus 5: 28 – 29). Pada pihak yang lain, ada juga istri yang selalu ingin untuk ikut berfungsi sebagai pemimpin dalam rumah tangga dan bahkan memandang rendah kemampuan sang suami.

Seorang istri yang merasakan besarnya kasih dan dedikasi sang suami akan bisa dengan sungguh hati menghormati dia. Hal ini mirip dengan jemaat yang mengasihi Kristus karena Ia lebih dulu berkurban. Seorang istri dengan senang hati mau memberikan kesempatan kepada sang suami untuk memimpin rumah-tangga jika sang suami mau melakukan tugasnya. Ini seperti jemaat yang menurut kepada pimpinan Kristus.

Hubungan suami istri menurut Alkitab bukanlah seperti apa yang diajarkan oleh dunia. Pada saat ini orang cenderung untuk menuntut haknya dan dengan demikian mudah jatuh ke dalam pertikaian. Jika suami hanya menuntut ketaatan istri dan istri hanya menuntut kesabaran dan kasih sayang suami, hidup rumah tangga hanya berisi hal tuntut-menuntut. Sebaliknya, hidup suami istri menurut Alkitab adalah berdasarkan kewajiban. Baik suami maupun istri harus ingat akan kewajiban mereka, dan berlomba-lomba untuk lebih dulu berbuat baik bagi yang lain. Baik suami maupun istri harus sadar bahwa setiap orang mempunyai kelemahan-kelemahan tersendiri.

Dalam hidup berumah tangga kekuatan akan datang dari kasih dan kemurahan hati pasangan hidup kita. Inilah kunci kesuksesan dan kebahagiaan rumah tangga! Sayang bahwa gereja dan pendeta dalam hal ini sering tidak mau campur tangan dan bahkan memilih untuk menekankan bahwa istri harus tetap “tunduk” kepada suami. Banyak pendeta yang kukuh mengajarkan bahwa seperti manusia harus tunduk kepada Tuhan, istri juga harus tunduk dan taat kepada suaminya dalam keadaan apa pun.

Memang seperti Tuhan mengasihi manusia, suami harus mengasihi istrinya. Suami juga harus mengasihi istrinya seperti ia mengasihi dirinya sendiri (Efesus 5: 25-28). Masalahnya ialah banyak suami yang tidak mengenal kasih Tuhan dan bahkan tidak tahu bagaimana ia harus mengasihi dirinya sendiri. Inilah masalahnya: bagaimana istri bisa tunduk kepada suami yang demikian?

Membandingkan lelaki dan wanita, mungkin tidak ada orang yang membantah bahwa pada umumnya lelaki lebih kuat fisiknya daripada wanita. Karena itulah, dalam olahraga, tim pria tidak bertanding melawan tim wanita. Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa kejahatan suami terhadap istri, atau kekerasan pria atas wanita secara umum tidak dapat diterima masyarakat mana pun.

Dalam rumah tangga, seorang suami mungkin lebih bisa mengerjakan satu hal dan sang istri sering lebih luwes melakukan hal yang lain. Tetapi yang sering terjadi dalam rumah tangga adalah istri diharapkan untuk tunduk kepada suami dalam semua hal, bahkan seperti tunduk kepada Tuhan. Apakah seorang istri harus selalu memandang dirinya kurang berarti? Apakah istri tidak boleh membantah dan menentang perlakuan semena-mena suami? Berita-berita di media sampai sekarang sering menunjukkan bahwa banyak istri yang menderita lahir dan batin karena harus tunduk kepada sang suami. Bahkan ada suami yang mungkin karena saking pintarnya bertinju, suka memukuli istrinya sampai babak belur!

Bagi kita yang sudah lama menikah, mungkin kita sudah terbiasa dengan perlakuan suami atau istri kita. Mungkin perlakuan kita yang dulu kurang baik, jika ada, sudah berhasil diperbaiki. Syukurlah kalau begitu. Jika tidak, kesempatan masih ada untuk mengubah apa yang keliru:

  1. Tunduk bukan berarti selalu setuju.
  2. Tunduk bukan berarti istri harus menanggalkan akal budi.
  3. Tunduk bukan berarti tidak pernah atau mau mempengaruhi suami.
  4. Tunduk bukan berarti mendahulukan kehendak suami diatas kehendak Tuhan.
  5. Tunduk bukan berarti menggantungkan seluruh kekuatan rohani kepada suami.
  6. Tunduk bukan berarti hidup dalam ketakutan.

Poin nomer 6 adalah satu hal penting yang bisa dipakai sebagai alat pengukur kesehatan hubungan suami-istri. Jika salah satu merasa takut kepada pasamgannya, itu berarti hubungan mereka tidak sehat. Mengapa demikian? Itu karena rasa takut menunjuk pada absennya kasih dari hubungan suami-istri. Kita yang sudah diselamatkan oleh Kristus, memiliki hubungan yang berdasarkan kasih, bukan keakutan. Kita tidak perlu takut kepada Kristus jika kita hidup dalam kasih-Nya. Begitu juga dalam hidup rumah tangga, seorang istri yang hidup dalam ketakutan, atau seorang suami yang terlihat menakutkan, adalah tanda bahwa Yesus belumlah menjadi Tuhan dalam rumah tangga mereka. Semoga kita sadar bahwa jika kasih ada dalam sebuah keluarga, tidak ada lagi ketakutan yang dialami oleh anggota keluarga. Sebaliknya, yang ada adalah kedamaian dalam Kristus.

Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” 1 Yohanes 4: 18

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s