“Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” Kolose 3: 17

Dalam beberapa tahun terakhir, para pendeta dan teolog telah memberikan banyak penekanan pada dua kategori utama kesalahan teologis yang dapat membuat orang Kristen bingung. Kategori-kategori ini, di mana banyak terjadi kesalahan teologis, adalah legalisme dan antinomianisme. Istilah-istilah ini tentu saja bukan suatu yang jarang ditemui. Para teolog sepanjang sejarah Protestantisme telah menggunakan kedua istilah ini ketika menangani kesalahan doktrinal dalam gereja. Karena itu, tepat bagi kita untuk memahami bahwa kedua kesalahan ini selalu menjadi ancaman bagi pelayanan Injil yang sejati.
Sangat penting bagi kita untuk menerima kenyataan ini saat kita berusaha melindungi hati dan pikiran kita sendiri dari apa yang terus-menerus berusaha merampok kemuliaan Allah dengan memutarbalikkan kasih karunia Allah kita di dalam Kristus. Penting bagi kita untuk mengingat bahwa kaum Legalis (sadar atau tidak) hanya akan berusaha menentang antinomianisme dan kaum Antinomian (sadar atau tidak sadar) hanya akan berusaha menentang legalisme. Sebaliknya, orang percaya sejati akan selalu melihat kedua pandangan ini sebagai musuh besar Injil, dan akan, dengan tekad yang sungguh-sungguh, memakai Injil untuk melawan mereka. Jadi, bagaimana kita mendefinisikan kedua kesalahan ini? Bagaimana mereka muncul dalam kehidupan orang percaya? Dan bagaimana kita dengan kasih karunia Tuhan dapat “memperbaikinya dalam media kebenaran Ilahi yang tepat?”
Menurut definisi, legalisme adalah menambahkan sesuatu pada karya Kristus yang telah diselesaikan—dan percaya pada apa pun selain, atau sebagai tambahan, Kristus dan karya paripurna-Nya—untuk berdiri di hadapan Allah seperti seorang Farisi yang menyombongkan perbuatan baiknya. Antinomianisme adalah penyangkalan atau pengesampingan hukum Allah yang disengaja atau tidak disengaja dalam kehidupan orang percaya karena kepercayaan bahwa anugerah keselamatan memberi izin untuk hidup bebas dari hukum Tuhan. Legalisme meremehkan keberdosaan manusia dan kenyataan dari dosa yang tetap ada dalam kehidupan orang percaya. Antinomianisme mengecilkan kekejian dosa dan sifat merusak dosa dalam kehidupan orang percaya. Di permukaan, tampaknya kedua kecenderungan ini mempunyai kesalahan terbatas, yang pertama hanya pada bidang pembenaran apa yang tidak benar dan yang kedua hanya pada bidang pengudusan apa yang tidak kudus; namun demikian, penting bagi kita untuk mengingat bahwa kedua kesalahan tersebut pada akhirnya mempengaruhi cara hidup pengikut doktrinnya.
Ketika Tuhan kita Yesus berinteraksi dengan para Pengacara, Ahli Taurat dan Orang Farisi selama pelayanan-Nya di bumi, Dia mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang berusaha untuk membenarkan diri mereka sendiri di hadapan manusia atas dasar apa yang mereka lakukan (Lukas 16:15). Mereka menginginkan pengakuan dan pujian dari manusia. Ketika Yesus memberikan kisah tentang orang Farisi dan pemungut cukai, Dia mencatat bahwa orang Farisi telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa kasih karunia Allah telah membuatnya lebih baik daripada yang lain dan oleh karena itu, dia diterima oleh Allah atas dasar apa yang dia lakukan dan tidak lakukan. Pemungut cukai, sebaliknya, menundukkan kepalanya, memukul dadanya dan berteriak dengan putus asa, “Kasihanilah aku orang berdosa.” Yesus menjelaskan bahwa pemungut cukai pulang dengan alasan yang dibenarkan daripada orang Farisi itu. Kisah ini membuktikan bahwa inti dari legalisme adalah kepercayaan diri untuk berdiri di hadapan Tuhan karena keyakinan akan kebenaran diri sendiri.
Namun, ada dimensi lain dari Legalisme. Legalisme sebenarnya ternyata merupakan bentuk Antinomianisme yang lebih buruk daripada Antinomianisme yang ingin dilawannya. Dalam Matius 15:3 dan 6, Tuhan kita pada dasarnya mengatakan kepada orang-orang Farisi bahwa dengan menambahkan perintah-perintah pada Hukum Allah mereka telah mengurangi Hukum Allah. Mereka mengesampingkan perintah-perintah Allah dalam upaya menegakkan peraturan mereka sendiri. Ini penting untuk kita pahami. Legalisme selalu berakhir dengan antinomianisme, dan antinomianisme selalu berakhir dengan legalisme. Ini bukan hanya terjadi dalam satu kelompok orang Kristen, tetapi juga bisa terlihat dalam karakter seseorang dalam hidupnya sehari-hari. Dua pandangan ini adalah dua sisi dari sebuan koin dan mencerminkan kehendak manusia yang salah. Kehendak untuk meninggikan diri sendiri.
Antinomianisme pada zaman Apostolik adalah kesalahan doktrinal yang muncul sebagai reaksi terhadap legalisme yang dilawan oleh Yesus dan para Rasul. Beberapa pendengar Yakobus menggunakan doktrin pembenaran oleh iman saja sebagai dalih untuk berpuas diri dengan kehidupan yang tidak saleh. Ada berbagai bentuk Antinomianisme yang perlu ditonjolkan. Ada antinomianisme doktrinal yang secara terang-terangan menolak penerapan hukum Allah kepada orang percaya dalam kehidupan Kristen. Sebaliknya, ada antinomianisme praktis yang memberikan pedoman secara basa-basi penerapan hukum moral dalam kehidupan orang beriman, tetapi mengabaikannya dalam praktik. Sementara kita harus berusaha sekuat tenaga dalam menangani masalah ini, kita harus dengan berani menyatakan bahwa antinomianisme dalam bentuk apapun adalah penyimpangan dari kasih karunia Allah yang mengajar kita untuk menyangkal adanya kefasikan dan nafsu duniawi dalam hidup kita, dan untuk hidup dengan tenang dalam kebenaran palsu atau dalam keyakinan bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan.
Seperti yang telah kita catat bahwa legalisme menjadi suatu bentuk antinomianisme, maka kita harus mengakui bahwa antinomianisme juga menjadi bentuk legalismenya sendiri. Ketika pria dan wanita mengesampingkan keabsahan hukum Allah atas nama “kasih karunia” mereka akhirnya menggantinya dengan beberapa aturan dan peraturan lainnya. Tidak mungkin bagi seseorang—dalam nama Kristus—untuk hidup sebagai seorang Antinomian yang konsisten. Dalam kenyataannya, orang Kristen yang tidak mau “diperbudak “hukum adalah mereka yang paling bersikeras (secara legalistik) bahwa Hukum Allah sama sekali tidak mengikat mereka yang ada di dalam Kristus. Ada sebuah ironi di sini yang seharusnya menunjukkan kepada kita betapa parahnya kesalahan itu.
Karena kedua kesalahan itu berasal dari motif daging yang sama, usaha untuk mengoreksi satu kesalahan dengan memakai yang lain akan selalu berakhir dengan kegagalan. Teolog Reformed Sinclair Ferguson menjelaskan bahwa kita tidak dapat menyembuhkan kesalahan legalisme dengan memercikkan sedikit antinomianisme, dan kita tidak dapat menyembuhkan kesalahan antinomianisme dengan memercikkan sedikit legalisme—tidak peduli betapa mudahnya koreksi itu dalam bayangan kita. Dalam kenyataannya kita semua cenderung melakukan hal itu ketika kita melihat jejak pertama dari satu atau kesalahan lain dalam pengalaman Kristen kita.
Saat kita lebih mempertimbangkan berbagai aspek dari dua perusak Injil ini, kita mengamati bahwa ada berbagai cara di mana kedua kesalahan ini sering menyelinap tanpa disadari. Seringkali tidak terlihat dari dua kesalahan ini ketika mereka memanifestasikan dirinya dalam hidup kita. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin saja dalam keluarga Kristen ada seorang ayah yang legalistik, menuntut anak-anaknya untuk menghormati dia dengan cara-cara yang berlebihan dan mengharuskan mereka untuk selalu tunduk kepadanya. Begitu juga sang istri diharuskan untuk tunduk dalam arti selalu menuruti keputusan suami. Semua itu dilakukan seperti apa yang disebutkan dalam Alkitab tanpa adanya pengertian yang benar. Sudah tentu, dengan pelaksanaan hukum Tuhan secara keliru, mereka yang legalistik ini sebenarnya bertindak secara antinomian. Lebih menarik, mereka yang legalistik mungkin saja adalah anggota gereja yang menganut pandangan yang cenderung antinomian, dan begitu juga sebaliknya.
Mereka yang cenderung bersikap antinomian sebenarnya lebih mudah untuk diamati dalam kehidupan masyarakat modern. Kita bisa mengerti bagaimana kecenderungan sebagian orang Kristen yang tidak merasa canggung untuk untuk berbohong kecil, sekalipun ini bisa berkembang menjadi kebohongan dan penipuan dalam dunia bisnis. Selain itu, usaha mencari uang sebanyak-banyaknya sering berakibat kebalnya orang Kristen terhadap dosa ketamakan. Adanya peringatan tentang bahaya “tujuh dosa yang mematikan” selama hidup di dunia juga sering diabaikan dengan keyakinan bahwa tidak ada dosa yang bisa membinasakan orang Kristen sejati. Dengan kesombongan itu, mereka secara sadar atau tidak akan menganggap semua dosa itu adalah bagian dari ketidaksempurnaan yang seharusnya tetap ada dalam hidup orang Kristen sejati selama di dunia. Inilah yang kemudian diajarkan kepada orang lain sebagai sesuatu yang “normal” dan “legal”, yang harus diterima sebagai kebenaran.
Pagi ini, kita bisa melihat adanya dua kesalahan serius yang bisa terjadi dalam pandangan orang Kristen, yang tidak akan membawa kemuliaan kepada Tuhan. Sebagai orang yang sudah diselamatkan, kita harus sadar bahwa apa pun yang kita lakukan haruslah untuk kemuliaan Tuhan dan bukan untuk menyokong apa yang kita yakini sebagai kebenaran. Pertentangan antara dua kutub yang ektrim ini tidak akan dapat diselesaikan jika orang Kristen tidak sadar bahwa adanya kedua pandangan ini justru sangat merugikan nama baik Tuhan dan gereja-Nya. Biarlah kita bisa meninjau cara hidup kita masing-masing agar kita tidak terjebak di antara dua keadaan yang kelihatannya sangat berbeda, tetapi dalam kenyataannya hanya berbeda sekulit bawang.