Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Matius 5:20

Anda mungkin pernah mendengar seseorang berkata kepada Anda, “Jangan menjadi seperti orang Farisi.” Biasanya kata-kata ini diucapkan ketika seseorang terlalu berhati-hati dalam “menjaga aturan” dan berusaha keras untuk “hidup baik” dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang Kristen. Tetapi ucapan ini bisa membuat Anda tersinggung karena jika ada satu tipe orang dalam Perjanjian Baru yang dengannya Anda tidak ingin dibandingkan, tentunya itu adalah orang Farisi. Meskipun kita dapat mempelajari kehiduipan orang Farisi dari berbagai sudut pandang, mari kita lihat bagaimana tanggapan Yesus terhadap orang Farisi dalam Injil Matius.
Orang-orang Farisi memang sering menentang Yesus dalam kitab Injil. Yesus sering dikritik oleh orang Farisi, dan Dia pada gilirannya mencela mereka karena cara mereka yang salah. Yesus bahkan menyebut orang Farisi sebagai “keturunan ular beludak”. Dia secara tegas memperingatkan murid-muridnya untuk tidak mengikuti ajaran mereka. Tapi apa sebenarnya masalah orang Farisi? Apakah karena mereka terlalu peduli untuk mengikuti hukum Allah? Atau apakah itu sesuatu yang lain?
Tetapi waktu ia melihat banyak orang Farisi dan orang Saduki datang untuk dibaptis, berkatalah ia kepada mereka: ”Hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang? Matius 3:7
Berlawanan dengan apa yang mungkin pernah Anda dengar, Yesus tidak menegur orang Farisi karena terlalu memperhatikan hukum Allah. Yesus tidak pernah merendahkan atau meremehkan hukum Allah. Di mana kelihatannya Dia meremehkannya (kontroversi mengenai hari Sabat, misalnya), Yesus malah mengkritik kesalahpahaman dan penyelewengan hukum Allah. Orang-orang Farisi mengira mereka berada di jalur yang benar, tetapi Yesus menunjukkan sebaliknya. Yesus adalah kebenaran yang tidak dapat dipungkiri.
Bukannya mengkritik orang Farisi karena terlalu berfokus pada hukum Allah, Yesus mengkritik mereka karena tidak cukup peduli dengan hukum Allah yang tertulis. Mereka tidak terlalu memperhatikannya; mereka memberikannya terlalu sedikit perhatian. Ketertarikan Yesus untuk memperhatikan hukum dengan saksama terbukti dalam Khotbah di Bukit (Matius 5). Meskipun khotnah itu mungkin yang paling terkenal dari semua ajaran Yesus, itu juga mengandung beberapa pesan yang paling sulit untuk dipahami. Apakah Yesus mengajarkan bahwa hukum Allah tidak mungkin atau tidak perlu dipatuhi? Apakah dia mengajarkan perfeksionisme Kristen? Jawabannya tidak keduanya. Yesus tidak mengajarkan antinomianisme maupun legalisme (kedua “isme” ini sudah pernah dibahas sebelumnya).
Dalam Khotbah di Bukit Yesus menunjukkan relevansi hukum Allah yang sedang berlangsung, dan peran-Nya sendiri dalam memenuhi hukum Allah. Dia menunjukkan kepada kita bagaimana kita harus menaati hukum Allah, dan Dia menunjukkan kepada kita bagaimana standar-Nya lebih besar dari yang kita bayangkan. Bagian yang penting adalah Matius 5:17–20. Dalam Matius 5:17 Yesus menyangkal bahwa Ia datang untuk meniadakan hukum. Mengantisipasi kesalahpahaman di kemudian hari tentang hukum dalam kehidupan Kristen, Yesus menyangkal bahwa hukum itu ditiadakan. Sebaliknya, Yesus menyatakan bahwa Dia datang untuk menggenapi hukum!
Kata “menggenapi” adalah kata kunci dalam Matius yang menyoroti Kristus dan tugas unik-Nya dalam mencapai keselamatan. Yesus mengatakan, dengan kata lain, bahwa Dia adalah penggenapan yang tepat dari hukum. Matius 5:18 (“Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.”) menegaskan bahwa Yesus tidak mengurangi hukum, tetapi berbicara tentang keabadian hukum dan pemenuhannya. Bahwa Yesus tidak datang untuk meniadakan hukum terbukti dalam Matius 5:21–48. Ayat-ayat ini sering disebut “antitesis” karena Yesus bertentangan dengan apa yang dipikirkan banyak orang tentang hukum Allah. Mengapa begitu?
Ketika Yesus berkata dalam Matius 5: “Kamu telah mendengar firman, tetapi Aku berkata kepadamu,” Dia tidak bertentangan dengan hukum Allah itu sendiri. Sebaliknya, Dia mengoreksi kesalahpahaman tentang hukum Allah di mana nilai spiritual dari hukum itu diencerkan menjadi ketaatan eksternal saja. Yesus memanggil kita kembali ke hukum Allah dan menunjukkan betapa ketaatan sejati lebih dalam dari yang kita bayangkan. Dalam hal ini adalah pelajaran bahwa empat yang pertama dari enam “antitesis” tampaknya mengacu pada Sepuluh Perintah. Yesus menunjukkan kepada kita apa yang diminta oleh Sepuluh Perintah.
Dalam Khotbah di Bukit kita melihat bahwa hukum Allah menuntut kita lebih dari sekadar ketaatan lahiriah, dan kita tidak dapat benar-benar memahami hukum Allah terlepas dari Orang yang memenuhi hukum itu. Khotbah di Bukit, dengan kata lain, adalah tentang hukum Allah yang dilaksanakan (apa yang Yesus lakukan), dan hukum Allah diterapkan (relevansinya dengan kehidupan kita). Ini membawa kita ke salah satu perikop yang selalu membingungkan dalam Khotbah di Bukit. Matius 5:20: “Sebab Aku berkata kepadamu bahwa kecuali kesalehanmu melampaui orang Farisi dan ahli Taurat, kamu pasti tidak akan masuk kerajaan surga.”
Banyak interpretasi dari bagian ini tampaknya memutarbalikkannya. Sering dipikirkan: Keadilbenaran orang Farisi menunjuk pada pemeliharaan aturan mereka yang sangat ketat. Jika satu-satunya cara kita dapat memasuki kerajaan surga adalah menjadi pemelihara aturan yang lebih baik daripada orang Farisi, maka kita semua tidak memiliki harapan. Yesus pasti memaksudkan sesuatu yang lain, begitu mungkin pikiran kita. Dia tidak mendorong pemeliharaan aturan yang paling benar, tetapi menunjukkan kepada kita seberapa jauh kita gagal. Begitulah banyak orang yang menafsirkan ayat itu. Namun, pendekatan ini justru salah arah.
Panggilan untuk kebenaran yang lebih besar dalam Matius 5:20 adalah panggilan nyata untuk kebenaran hidup. Ini tidak datang dengan menghindari hukum Allah, tetapi dengan menunjukkan komitmen yang lebih dalam pada kebenaran daripada orang Farisi—terlepas dari jenis aturan tertentu yang mereka patuhi. Orang-orang Farisi mengira mereka berada di jalur yang benar, tetapi Yesus menunjukkan sebaliknya.
Kebenaran orang Farisi tidak cukup setidaknya dalam dua hal. Pertama, mereka tidak memberikan perhatian yang cukup pada kedalaman hukum Tuhan. Mereka memandang kesalehan—setidaknya dalam praktik—sebagai sesuatu yang lahiriah, yang bisa dipamerkan. Inilah mengapa Yesus mengkritik mereka karena melewatkan bagian terpenting dari hukum (Matius 23:23). Mereka adalah kuburan bercat putih. Mereka terlihat bagus di luar, tetapi di dalamnya penuh dengan tulang belulang orang mati (Matius 23:27). Aturan orang Farisi adalah kosong. Mereka tidak memberikan perhatian yang cukup pada bagian terpenting dari hukum Allah. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk mengangkat tradisi manusia ke posisi status seperti hukum, melanggar hukum Allah dalam prosesnya (Matius 15:5-9).
Kedua, mereka tidak hanya kehilangan karakter sejati dari kebenaran yang dituntut dalam hukum Allah, mereka juga tidak mengerti peran Yesus dalam hubungannya dengan hukum. Dalam terang inilah Matius 5:19 bisa kita mengerti: “Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.”
Pagi ini, pertanyaan bagi Anda adalah:” Apakah Anda orang Farisi yang benar? Saya harap Anda menjawab dengan “ya”. Bila Allah membuat orang berdosa bertobat dan memindahkan dia ke kedudukan seorang yang telah beroleh rahmat, Dia membebaskannya dari perhambaan kodratnya di bawah dosa, dan oleh rahmat-Nya semata-mata menjadikan dia mampu menghendaki dan melakukan apa yang baik secara rohani. Dengan demikian kita akan mau melakukan dan mengajarkan perintah-perintah Tuhan dalam Alkitab dengan kesungguhan hati, tanpa merasa takut akan adanya kemungkinan munculnya kritik dari orang lain. Sebagai orang yang sudah diselamatkan, kita bukanlah orang yang sudah sempurna, tetapi adalah orang yang selalu berusaha dengan sepenuh hati, jiwa dan akal budi untuk melaksanakan hukum kasih dengan sepenuhnya.
Jawab Yesus kepadanya: ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Matius 22:37-40