“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Roma 11: 36
Manusia itu aneh. Jika ada hal yang buruk terjadi, ia akan mengeluh mengapa hal itu terjadi padanya. Tetapi, jika ada hal yang baik yang terjadi pada dirinya, ia akan merasa bahwa hal itu adalah sudah sewajarnya. Memang dari dulu manusia cenderung lebih mudah merasa bahwa apa yang baik adalah haknya, dan apa yang buruk tidak seharusnya terjadi pada dirinya. Lebih-lebih lagi, di zaman modern ini manusia lebih mengenal apa yang seharusnya menjadi haknya dan karena itu sering mengajukan berbagai tuntutan agar orang lain, masyarakat dan negara mengakui haknya.
Memang manusia sampai-sampai bersedia untuk berdebat, bermusuhan, dan bahkan berperang untuk memperoleh dan mempertahankan apa yang dianggap haknya. Anak-anak merasa mempunyai hak tertentu dan menuntut orang tua dan keluarga untuk menghargai dan memberikannya. Sebaliknya orang tua pun merasa mempunyai hak-hak tertentu yang mengharuskan anak-anaknya untuk memenuhi kemauan dan kebutuhan mereka di masa depan. Demikian pula, percekcokan antara suami dan istri sering diakibatkan karena mereka saling merasa punya hak-hak tertentu. Semua orang punya hak dan kewajiban, begitulah ajaran hidup bermasyarakat yang sering kita dengar.
Manusia sejak dulu memang berusaha memperjuangkan hak-hak manusia karena keyakinan bahwa pada hakekatnya semua manusia itu sama derajatnya. Tercatat dalam sejarah bahwa tokoh-tokoh agama Kristen pada abad 17 dan 18 giat memperjuangkan masalah hak asasi. Hak Asasi Manusia(HAM) adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Mereka umumnya dipahami sebagai hal yang mutlak sebagai hak-hak dasar “yang seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia”, dan yang “melekat pada semua manusia” terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa, agama, asal-usul etnis atau status lainnya.
Walaupun dalam kehidupan masa kini soal mengatur hak dan kewajiban manusia adalah penting demi keamanan dan kelancaran hidup bermasyarakat, dalam konteks iman Kristen selalu ada pertanyaan apakah benar bahwa setiap manusia dilahirkan dengan hak-hak tertentu. Benarkah bahwa setiap orang di dunia pada hakekatnya mempunya hak yang sama untuk hidup nyaman dan aman? Benarkah manusia Kristen mempunyai hak-hak istimewa yang tidak dipunyai orang lain?
Apa yang tertulis dalam Galatia 4: 6-7 seolah mengiyakan pandangan bahwa manusia percaya mempunyai hak khusus terutama dalam hal meminta berkat dari Tuhan.
Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: “ya Abba, ya Bapa!” Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.
Tetapi jika kita teliti, ayat diatas bukanlah menunjuk pada hak kita sebagai orang yang sudah diselamatkan, tetapi pada kenyataan bahwa mereka yang percaya sudah menerima anugerah keselamatan dan dengan itu boleh memanggil Allah sebagai Bapa. Dalam Alkitab disebutkan bahwa manusia sebagai ciptaan Allah memang mempunyai hak kolektif untuk mengatur dunia serta untuk berkembang biak (Kejadian 1: 28-29), tetapi Alkitab hampir tidak pernah menyebutkan soal hak pribadi.
Dalam Alkitab jelas tertulis bahwa manusia itu diciptakan sebagai peta dan teladan Allah untuk memuliakan Sang Pencipta. Dengan demikian, apa yang dikenal sebagai “hak ” oleh manusia sebenarnya adalah anugerah Tuhan semata, sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia.
Manusia diciptakan dengan kesadaran akan baik dan buruk; tetapi karena dosa, kesadaran ini sering menjadi pudar. Karena itu, dalam hidup bermasyarakat manusia membutuhkan pengertian akan adanya “hak” dan kewajiban. Tetapi, sekalipun mungkin kita kurang menyenanginya, adalah fakta bahwa apa yang sering disebutkan dalam Alkitab adalah kewajiban dan bukan hak. Hukum Kasih mengatakan bahwa kita harus mengasihi Tuhan dan sesama kita, dan pada kedua hukum ini bergantung semua hukum-hukum yang lain (Matius 22: 37-40). Tuhan tahu jika kita melaksanakan kedua kewajiban ini, soal “hak” tidak lagi akan menjadi persoalan dalam hidup manusia.
Pagi ini kita diingatkan bahwa sebagai orang Kristen, kita tidak boleh selalu menekankan pentingnya “hak” kita dalam hidup beragama, berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara, tetapi lebih mementingkan apa yang bisa dan harus kita perbuat untuk Tuhan dan orang lain. Dengan demikian hidup kita akan bisa terisi dengan kebahagiaan dan kepuasan bahwa kita sudah menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan dan memuliakan namaNya.
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Matius 7: 12