Tetapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. Ayub 2: 10
Membaca kitab Ayub 2, mau tidak mau kita membayangkan bagaimana hubungan Ayub dengan istrinya sebelum Ayub tertimpa berbagai musibah. Apakah istri Ayub hanya mencintainya dalam suka? Mengapa dengan datangnya duka, istri Ayub menyuruh Ayub untuk meninggalkan Tuhan dan mati (ayat 9)?
Bagi mereka yang pernah menghadiri upacara pemberkatan nikah di gereja, tentunya ingat akan isi janji pernikahan yang diucapkan kedua mempelai:
“Saya mengambil engkau menjadi istri/suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Dengan janji sehidup-semati ini, kedua sosok manusia itu kemudian diteguhkan sebagai suami dan istri untuk seumur hidup.
Jika pernikahan adalah antara dua manusia yang berbeda jenis dan latar belakangnya tetapi saling mengasihi, umat Kristen atau gereja bisa dibayangkan sebagai calon mempelai Kristus (Wahyu 21: 2). Sebagai orang percaya, kita mempunyai tekad untuk mengikut Yesus dalam segala keadaan, sekalipun kita mungkin tidak pernah diminta untuk mengucapkan janji untuk tetap setia kepada Yesus waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit. Yesus sendiri berkali-kali berjanji untuk menyertai umatNya untuk selamanya, dan bahkan memberikan Roh Kudus untuk menguatkan kita (Yohanes 14: 16).
Seperti banyak pernikahan manusia yang menjadi hancur karena adanya godaan, tantangan dan kesulitan hidup, banyak orang yang mundur dari imannya karena adanya berbagai persoalan hidup. Walaupun demikian, bagi kita, untuk tetap berpegang pada janji kesetiaan Tuhan dalam menghadapi kesulitan hidup, bukanlah hanya harapan. Bahwa Ayub yang hidupnya diterpa badai kehidupan yang begitu besar dan bahkan untuk sesaat seolah kehilangan dukungan istrinya, tetapi tetap setia dan beriman kepada Tuhan, adalah sebuah contoh bahwa mereka yang sudah pernah merasakan besarnya kasih Tuhan dalam hidup mereka, tidaklah mudah untuk mengingkari iman kepadaNya. Menarik sekali untuk menyimak bahwa karena kesetiaan Ayub kepada Tuhan dan kesetiaan istri Ayub kepada Ayub, Tuhan pada akhirnya memberkati Ayub dan istrinya dengan berkelimpahan (Ayub 42: 12 – 16).
Pagi ini, jika hidup kita mengalami persoalan besar, biarlah kita ingat akan janji Tuhan untuk menyertai kita. Dengan keyakinan akan kasihNya,sekalipun keadaan dan orang-orang di sekitar kita pada saat ini tidak bisa membantu kita, biarlah kesetiaan kita kepada Tuhan tetap kuat sebab Ia adalah Tuhan yang setia.
“Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. Roma 8: 38 – 39
Betapa indah dan bahagianya sbuah ikatan suami istri (pernikahan) jika d dalamnya ada sling stia, baik dlm suka maupun duka.
Kiranya pernikahan kita masing2 ttp dan sllu dlm lindungan dan brkat yg Mahakuasa Tuhan.
SukaDisukai oleh 1 orang
amin. setia sampai maut memisahkan.
SukaDisukai oleh 1 orang