“Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi, demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia.” Ibrani 9: 27 – 28
Pernahkah anda mendengar nama Hachikō? Hachikō adalah seekor anjing jantan jenis Akita yang dilahirkan pada tahun 1923 di Prefektur Akita, Jepang. Pada tahun 1924, professor Hidesaburō Ueno mengambilnya sebagai binatang peliharaan untuk hidup bersamanya di Shibuya, Tokyo. Setiap hari kerja, Profesor Ueno naik kereta api dari stasiun Shibuya untuk ke universitas Tokyo dan jika ia pulang, Hachikō sudah menunggunya di depan stasiun. Kebiasaan ini berlanjut sampai 21 Mei 1925, ketika sang majikan tidak pulang ke rumah. Pada hari itu Profesor Ueno meninggal dunia karena perdarahan otak. Setelah majikannya meninggal, Hachikō terus menunggu majikannya yang tidak kunjung pulang di tempat yang sama selama 9 tahun, 9 bulan dan 15 hari.
Patung Hachikō di depan Stasiun Shibuya telah menjadi salah satu marka tanah di Shibuya. Hachikō dianggap sebagai contoh anjing yang sangat setia. Tetapi, apakah Hachikō sebenarnya mengerti arti kesetiaan? Saya kurang tahu. Yang jelas, Hachikō tidak mengerti bahwa majikannya sudah meninggal dunia. Ia menunggu karena berharap bahwa Profesor Ueno akan pulang ke rumah. Ia mencintai majikannya dan sudah terbiasa untuk menunggu dia muncul dari stasiun. Bagi Hachikō tidak ada tugas lain yang lebih penting dari menanti-nantikan kedatangan sang majikan. Suatu kesetiaan dan pengharapan yang mengesankan tetapi tidak ada gunanya. Sampai Hachikō mati, sang majikan tidak pernah muncul kembali.
Bagi kita manusia, pekerjaan menunggu seringkali adalah sesuatu yang membosankan. Apalagi jika kita harus menantikan sesuatu yang belum pasti terjadi, atau belum diketahui kapan akan terjadi. Bagi kita, mempunyai kesetiaan seperti Hachikō mungkin diartikan sebagai kesetiaan yang buta, tanpa makna. Tentunya hanya orang bodoh yang mau menantikan sesuatu yang pasti tidak akan terjadi.
Bagaimana pula dengan menantikan hal kedatangan Kristus untuk kedua kali? Banyak orang Kristen yang menganggap ini sebagai sesuatu yang tidak bisa diterka kapan akan terjadi. Bagaimana Kristus akan muncul lagi juga sulit dibayangkan. Malahan ada yang percaya bahwa semua itu adalah kiasan saja. Karena itu, ada orang Kristen yang sama sekali tidak mau memikirkan pentingnya hal ini. Hidup ini penuh dengan tugas dan kegiatan; menunggu sesuatu yang tidak pasti bukanlah sesuatu yang perlu dipikirkan sekarang, begitu mungkin ujar mereka. Sebaliknya, ada orang Kristen yang seolah selalu menantikan kedatangan Kristus. Kristus bisa muncul sewaktu-waktu dan karena itu mereka selalu sibuk mencari tanda-tanda kedatanganNya. Bagi orang-orang seperti ini, hidup kekristenan adalah seperti hidup Hachikō sepeninggal majikannya. Menanti-nantikan kedatangan Kristus yang kedua kali adalah satu-satunya tugas yang utama.
Ayat di atas menyatakan bahwa Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diriNya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diriNya sekali lagi untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia. Majikan kita, tuan kita, Tuhan kita, akan datang lagi guna memberikan kita hadiah keselamatan kekal yang sudah dijanjikanNya. Ini adalah saat yang istimewa yang seharusnya sudah dinanti-nantikan oleh mereka yang benar-benar percaya dan setia kepada Tuhan. Bukti kesetiaan kita adalah keinginan untuk dengan sungguh-sungguh (eagerly) menantikan kedatangan Tuhan Yesus. Mereka yang tidak tertarik untuk menantikan Dia, mungkin mempunyai prioritas lain dalam hidupnya.
Menantikan kedatangan Kristus bukan hanya menunggu, membayangkan dan mengharapkan Kristus untuk datang dengan kemuliaanNya. Menantikan kedatanganNya juga bukan berarti hanya mengharap-harapkan “hadiah” kemuliaan yang akan diberikan kepada umatNya yang setia. Menantikan kedatangan Kristus berarti percaya dengan sungguh-sungguh bahwa Kristus adalah Raja di atas segala raja. Menantikan Dia yang kita kasihi juga menuntut agar kita membagikan kasih kita kepada orang lain. Karena itu, sebelum Ia datang lagi, kita harus bekerja dengan giat untuk memasyhurkan namaNya di antara orang-orang yang belum mengenal Dia. Menunggu sang Raja, kita juga harus mempersiapkan diri dengan menata hidup kita supaya kelihatan tidak bercacat di hadapan Dia. Menunggu berarti hidup sesuai dengan FirmanNya dan siap untuk menyambutNya kapan saja.
“Turutilah perintah ini, dengan tidak bercacat dan tidak bercela, hingga pada saat Tuhan kita Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. 1 Timotius 6: 14