“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” Mazmur 42: 11

Pada beberapa hari terakhir ini bencana kebakaran hutan lagi melanda negara bagian Queensland di Australia. Banyak rumah yang terbakar habis termasuk bangunan hotel kuno Binna Burra di Gold Coast yang dibangun pada tahun 1933. Kota Stanthorpe yang berjarak sekitar 140 km dari kota saya, Toowoomba, juga mengalami kebakaran yang mengharuskan sebagian penduduknya untuk mengungsi. Pagi ini, giliran penduduk Peregian Beach di utara Brisbane untuk meninggalkan rumah mereka karena ancaman api. Diduga api kebakaran berasal dari tangan usil beberapa remaja yang membakar semak-semak yang kering.
Dimanakah Tuhan? Pertanyaan ini muncul jika kita mengalami bencana. Mengapa Tuhan membiarkan kejadian-kejadian yang menyedihkan terjadi? Bukankah Tuhan kita adalah Tuhan yang mahakuasa dan mahakasih? Pertanyaan ini juga mungkin dilontarkan oleh orang yang melihat umat Tuhan yang ditimpa kemalangan. Mereka mungkin secara diam-diam mengejek orang Kristen yang sekalipun mempunyai Tuhan, tetap saja bisa mengalami kejadian yang menyedihkan. Buat apa mempunyai Tuhan jika Ia tidak bisa menolong umatNya yang sedang menderita? Bukankah Tuhan yang benar-benar ada seharusnya bisa dan mau menolong umatNya?
Bahwa Tuhan sering nampak berdiam diri ketika umatNya sedang mengalami bencana bukanlah sesuatu yang harus diherani. Yesus sebagai Anak Allah yang turun ke dunia juga mengalami hal yang serupa. Ketika Ia disalib Allah Bapa terasa jauh dan karena itu Ia berseru: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” yang berarti Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Markus 15: 34). Walaupun demikian, sebenarnya Allah tidak pernah meninggalkan orang-orang yang dicintaiNya. Segala sesuatu terjadi dengan seizinNya dan membawa akibat yang sesuai dengan rencanaNya.
Penulis Mazmur 42 adalah anak-anak Korah yang mempertanyakan keberadaan Tuhan ketika jiwa mereka gundah-gulana. Jiwa yang tertekan dan gelisah. Walaupun tidak disebutkan apa yang sebenarnya dialami mereka, mungkin kita pernah merasakan penderitaan yang serupa. Kelihatannya, penderitaan yang dituliskan dalam Mazmur 42 bukanlah penderitaan jasmani, tetapi lebih ke arah penderitaan rohani. Mereka mungkin mengalami depresi spritual. Seseorang dalam kondisi depresi seperti ini bisa mengalami perasaan sedih, cemas, atau kosong; mereka juga cenderung merasa terjebak dalam kondisi yang tidak ada harapan, tidak ada pertolongan, penuh penolakan, atau perasaan tidak berharga. Lebih jauh, individu yang mengalami depresi rohani seperti ini dapat juga merasa malu atau gelisah. Semuanya sehubungan dengan perasaan bahwa Tuhan sudah meninggalkannya, dan ini bisa saja membuat hidup ini terasa sia-sia.
Bagaimana tindakan kita jika kita mengalami depresi rohani? Pemazmur diatas sudah menunjukkan caranya. Yang pertama ialah dengan bertanya kepada diri kita sendiri apakah yang menyebabkan kegelisahan kita. Kita juga boleh bertanya kepada Tuhan mengapa semua ini harus terjadi. Tuhan mungkin tidak memberikan jawaban secara langsung, tetapi kita kemudian akan sadar bahwa Tuhan tahu segala apa yang terjadi dalam hidup kita. Tuhan tidak mungkin kehilangan kemudi. Yang kedua adalah dengan mengingat bahwa sampai saat ini Tuhan sudah membimbing kita. Tuhan adalah Tuhan yang mahakuasa dan mahakasih. Dia adalah yang memegang kontrol kehidupan kita. Dengan demikian kita bisa berharap akan pertolongan Tuhan di masa depan. Yang ketiga ialah dengan menyampaikan rasa syukur dan doa kepada Dia yang mahakasih. Dengan ini kita juga bisa lebih merasakan kerinduan kita kepada Tuhan yang memberi kedamaian dan keyakinan. Hanya Tuhan yang bisa menyegarkan dan menguatkan kita kembali dan itu yang harus kita yakini.
Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” Mazmur 42: 1