“Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!” Mazmur 51: 1

Pagi tadi saya menonton TV yang menampilkan sebuah wawancara dengan seorang penyanyi terkenal, Leo Sayer. Saya memang adalah penggemar lagu-lagunya yang sangat populer seperti “You Make Me Feel Like Dancing” dan “When I Need You” dan pernah juga menonton show-nya. Dalam wawancara itu, ia diberi sebuah pertanyaan apakah ia mempunyai sesuatu kekuatiran dalam hidupnya. Maklum, penyanyi ini sudah dua kali menikah dan keduanya berakhir dengan perceraian. Selain itu, ia juga pernah dirugikan secara finansial secara besar-besaran oleh teman dekatnya. Terhadap pertanyaan itu, ia menjawab bahwa ia bukanlah orang yang mudah kuatir untuk hal apapun, sekalipun ia mengaku sudah membuat berbagai kesalahan dalam pernikahan maupun bisnisnya. Kelihatannya, jawaban ini bisa membuat orang lain kagum. Dari penampilannya, penyanyi ini tentunya adalah orang yang selalu berpikir positif dan bisa melupakan apa yang pahit pada masa lalunya.
Berpikir positif atau positive thinking adalah sesuatu yang banyak digembar-gemborkan oleh berbagai motivator pada zaman ini. Berpikir positif adalah sesuatu yang membuat orang bisa bertahan dalam menghadapi kesulitan, begitu kata orang. Memang, jika seseorang mengalami hal yang kurang menyenangkan, pikiran yang negatif seringkali membuat persoalan menjadi terasa makin berat. Berpikir positif secara umum menyangkut usaha untuk memperbesar hal percaya kepada diri sendiri dan memupuk semangat untuk menghadapi hari depan. Kelihatannya, semua ini adalah baik dalam pandangan banyak orang yang menghadapi kesulitan hidup. Rasa sesal dan kesal memang bisa membuat semangat orang menjadi hancur dalam kesulitannya. Bgaimana kata firman Tuhan dalam hal ini?
Alkitab menceritakan kesulitan besar yang dihadapi raja Daud. Ketika itu ia sudah melakukan dosa besar dengan menghamili Batsyeba, istri Uria panglima perangnya. Bukan itu saja, tindakan Daud yang lain kemudian menyebabkan kematian Uria. Tuhan kemudian mengutus nabi Natan untuk memperingatkan Daud (2 Samuel 12). Daud tidak membantah apa yang dinyatakan oleh Natan, sebaliknya ia memohon ampun kepada Tuhan. Daud tidak memakai cara berpikir positif dengan mengabaikan kekeliruan yang pernah dilakukannya, tetapi dengan sungguh-sungguh meminta pengampunan Tuhan akan segala pelanggarannya. Daud mengerti bahwa dengan mengakui segala kekeliruannya dan menyadari bahwa Tuhan tidak dapat ditipu dengan penampilannya, ia masih bisa berharap pada belas kasihan Tuhan.
Dari kisah hidup Daud, kita bisa menyadari bahwa Daud bukanlah orang yang sempurna, tetapi sebaliknya ia adalah orang yang lemah dan bergelimang dosa. Tetapi Daud adalah orang yang tidak bersandar pada diri sendiri dan mencoba menyelesaikan persoalan hidupnya dengan kekuatannya. Ia tidak menutupi masa lalunya dengan pikiran-pikiran positif. Sebaliknya, Daud menghampiri tahta Tuhan dengan bersujud dan menyesali apa yang telah dilakukannya. Ia sadar bahwa dengan usaha apapun ia tidak dapat memutar balik jam kehidupannya dan mencuci bersih dosa yang sudah dilakukannya. Ia hanya bisa memohon ampun kepada Tuhan yang mahasuci.
Apa yang akhirnya terjadi pada Daud bisa mengingatkan kita bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang mahakasih. Seperti Tuhan sudah mengampuni Daud, Ia juga bisa mengampuni kita jika kita mau mengakui kekeliruan hidup kita dan memohon ampun kepadaNya. Jika kita memang mau berlaku jujur di hadapan tahtaNya, Tuhan akan memberikan kita kemurahanNya dengan membimbing kita untuk menghadapi masa depan kita. Tidak ada hal lain yang bisa mengembalikan rasa percaya diri kita, kecuali keyakinan bahwa Tuhan sudah mengampuni segala kesalahan, kesombongan, kepalsuan dan kejahatan kita yang lain. Dengan pengampunanNya, beban besar yang ada dipundak kita akan dilepaskan dan kita bisa melangkah menuju hari depan dengan rasa damai dan bahagia.