“Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.” Yakobus 5: 10 – 11

Teringat saya akan seorang teman sekolah yang agak pendiam dan pemalu. Herannya, teman ini mempunyai seorang saudara yang sama sekali berlainan sifatnya, yaitu gemar bercakap dan bergaul dengan sesama teman. Karena kedua orang tua mereka tidaklah menunjukkan sifat pendiam atau pemalu, saya hanya bisa menduga-duga mengapa sifat kedua anak mereka sangat berbeda, seperti bumi dan langit layaknya. Selang banyak tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan teman saya dan saudaranya. Pada kesempatan itu ada hal yang sangat menarik perhatian saya; teman saya tidak lagi menunjukkan sifat pendiam dan pemalu, sedangkan saudaranya justru berubah menjadi pendiam dan agak ragu-ragu. Agaknya apa yang dialami kedua orang ini dalam hidup mereka sudah mengubah sifat dan sikap mereka.
Memang kebanyakan orang percaya bahwa faktor keturunan atau genetika mempunyai pengaruh yang besar pada sifat dan sikap seseorang selama hidup di dunia. Tetapi ini tidak selalu benar, karena faktor lingkungan seringkali bisa mempunyai pengaruh yang sangat besar atas kehidupan manusia, dan dengan demikian bisa mengubah dan membentuk kepribadian dan pandangan hidup yang berbeda-beda. Adanya pengalaman yang terjadi, dan apa yang dipelajari seseorang dari keadaan dan manusia di sekitarnya bisa membuat orang menjadi makin baik atau pun makin buruk sifatnya. Tidaklah mengherankan bahwa mereka yang hidup dalam keluarga atau lingkungan yang kurang bisa memberi teladan yang baik, akhirnya bisa menjadi orang yang kurang baik tingkah lakunya.
Bagi kita umat Kristen, sudah tentu kita mengakui bahwa Yesus adalah Guru yang sempurna. Kepada Dia kita ingin belajar bagaimana kita harus menjalani hidup kita di dunia. Walaupun demikian, kita tahu bahwa Yesus bukanlah manusia biasa. Sewaktu Ia di dunia, Yesus adalah sepenuhnya manusia tetapi juga sepenuhnya Tuhan. Karena itu, jika kita menghadapi masalah yang besar, mungkin kita merasa ragu bagaimana kita bisa menyelesaikannya sebagai manusia yang penuh kelemahan. Jika Yesus pasti bisa menghadapi kesulitan apapun seperti Ia sudah membuktikannya di kayu salib, kita mungkin bertanya-tanya apakah ada manusia biasa yang sanggup menghadapi penderitaan yang serupa.
Pada saat ini kita mungkin mengalami persoalan hidup yang besar. Mungkin itu menyangkut masalah kesehatan, pekerjaan, relasi atau hal-hal yang lain. Karena hal-hal yang membebani hidup kita, mungkin saja sifat dan sikap kita dalam hidup ini sudah berubah secara berangsur-angsur. Mungkin dulu kita adalah orang yang optimis dan ceria, tetapi sekarang kita lebih suka termenung dalam duka. Mungkin juga karena banyaknya pengalaman pahit yang terjadi, kita tidak lagi dapat mempercayai orang lain. Dan dengan adanya ancaman yang sering datang dalam hidup kita, mungkin saja rasa yakin yang dulunya ada, sekarang berubah menjadi rasa putus asa. Rasa kecewa mungkin juga membuat kita percaya bahwa tidak ada orang lain yang mengalami penderitaan seperti kita.
Ayat diatas agaknya menegur kita, karena jika kita menganggap bahwa hidup kita saat ini penuh derita, ternyata ada banyak orang yang disebutkan dalam Alkitab sebagai orang-orang yang pernah mengalami penderitaan hidup yang luar biasa. Banyak orang yang taat kepada Tuhan justru mengalami penderitaan, seperti para nabi dan pengikut Yesus. Ayat di atas mengajak kita untuk menuruti teladan penderitaan dan kesabaran mereka yang hidup dalam Tuhan. Yakobus menyebut mereka berbahagia, karena mereka telah bertekun dalam iman. Lebih lanjut Yakobus mengingatkan kita akan ketekunan Ayub yang pada akhirnya membawa berkat yang sudah disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.
Saat ini pilihan ada di tangan kita: apakah kita mau tetap hidup dalam kedukaan dan kemarahan dalam menghadapi kepahitan hidup, atau menuruti contoh teladan yang diberikan oleh para pengikut Yesus, yang kemudian menerima kebahagiaan dari Tuhan karena ketekunan dan kesabaran mereka. Manakah yang kita pilih?