Kewajiban untuk menasihati orang lain

“Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: Hai orang jahat, engkau pasti mati! dan engkau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu supaya bertobat dari hidupnya, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu.” Yehezkiel 33: 8

Beberapa waktu yang lalu, ada seseorang yang mengingatkan orang lain tentang perlunya untuk menjaga jarak selagi mengantri. Maklum, dalam suasana pandemi ini setiap orang seharusnya punya rasa peduli (duty of care) untuk orang lain. Namun, nasihat yang disampaikannya ternyata disambut dengan rasa tidak senang dari orang yang dinasihati. Ujung-ujungnya, maksud baik dari orang yang menasihati kemudian berakhir dengan pertikaian.

Adakah untungnya bagi orang yang bermaksud baik untuk memberi nasihat bagi orang lain jika ada kemungkinan bahwa nasihat itu akan ditolak mentah-mentah dan bahkan bisa dijadikan alasan untuk mengadakan permusuhan? Ini adalah pertanyaan yang mungkin muncul dalam setiap orang dari kecil. Memang, orang sering mempunyai keinginan untuk menolong orang lain, setidaknya untuk memberi nasihat.  Tetapi, dari kecil mungkin kita sudah belajar untuk mengabaikan adanya hal-hal yang kurang baik dalam masyarakat. Mungkin dari orang tua atau teman, kita belajar untuk tidak mencampuri urusan orang lain. Itu adalah demi keselamatan atau kenyamanan kita sendiri.

Jika seseorang berusaha menasihati orang lain, ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya. Ada orang yang hanya ingin menunjukkan kemampuan dan kehebatannya. Ada juga orang yang cenderung ingin mempersalahkan, menghakimi atau merendahkan orang lain. Tetapi, ada juga orang yang benar-benar ingin agar orang lain sadar akan adanya hal yang tidak benar. Dalam semua itu, orang yang dinasihati bisa saja merasa bahwa dirinya dipermalukan atau diserang sehingga ia menjadi defensif, ingin membela diri.

Sangatlah menarik bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai hal-hal tertentu yang tidak boleh disinggung atau dibicarakan orang lain. Di dunia Barat misalnya, hal aborsi dan persamaan gender seringkali membuat masyarakat rikuh untuk membicarakannya di tempat umum. Begitu pula, dalam masyarakat Timur orang belajar untuk tidak mengkritik orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya.  Dengan demikian, orang menjadi kurang peduli atas persoalan orang lain. Biarlah orang yang melakukan kesalahan membayar dendanya sendiri, begitu kita berpikir.

Bagaimana sebenarnya panggilan orang Kristen dalam menghadapi situasi di sekelilingnya? Haruskah orang Kristen berusaha berdamai dengan semua orang dengan cara apa pun? Kita bisa melihat dari contoh Yesus yang selama hidup di dunia tidak ragu-ragu menegur orang lain, sekalpun itu menyebabkan kemarahan mereka. Dengan demikian, panggilan kita untuk hari ini tetaplah sama, yaitu agar kita berani menyatakan apa yang benar dan yang tidak benar menurut apa yang difirmankan Tuhan.

Ayat di atas adalah pernyataan Tuhan yang khusus kepada Yehezkiel, tetapi bisa diterapkan prinsipnya untuk semua orang Kristen yang hidup di mana pun. Prinsip yang harus kita pegang, bahwa kita ikut bertanggung-jawab atas kesalahan yang dilakukan orang lain yang kita lihat sendiri. Jika kita tahu bahwa orang lain melakukan kesalahan dan kita hanya berdiam diri, kita sudah ikut bersalah di hadapan mata Tuhan. Setiap orang Kristen dipanggil untuk ikut berpartisipasi dalam menegakkan kebenaran, bukan saja dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, masyarakat dan gereja, tetapi juga dalam hidup bernegara. Semua itu tentunya harus dilakukan dengan kasih dan untuk kemuliaan Tuhan. Semoga Tuhan menguatkan umatNya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s