“Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku.” Ayub 3: 25

Dengan adanya pandemi, banyaklah orang yang mengalami musibah. Entah itu karena kehilangan pekerjaan, kehilangan sanak, atau terjangkit virus corona. Apa yang dialami oleh sebagian orang, mungkin mirip dengan apa yang dialami Ayub yang kehilangan harta, keluarga dan kesehatan secara berurutan. Dalam keadaan yang sudah terasa berat saat ini, masih ada saja orang yang menemui masalah-masalah lain yang disebabkan ulah orang lain, bencana alam atau kecelakaan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Kita yang membaca pengalaman Ayub dan mendengar tentang penderitaan orang lain mungkin juga pernah mengalami hal yang serupa sekalipun tak sama. Tidaklah mengherankan jika kita bertanya-tanya. Mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa Tuhan membiarkan semuanya? Seiring dengan itu, hati kita menjadi sangat sedih.
Hal yang jelek bisa terjadi di dunia yang rusak karena kejatuhan manusia kedalam dosa. Malapetaka bisa juga terjadi karena pekerjaan iblis, seperti apa yang terjadi pada Ayub. Selain itu, seperti apa yang terjadi pada Ayub, terkadang Tuhan memperbolehkan penderitaan datang kepada umatNya. Tetapi Ayub yang mengalami berbagai malapetaka, tetap dilindungi Tuhan sampai akhir.
Sebagai orang Kristen kita harus sadar bahwa Tuhan tidak membuat malapetaka untuk umatNya. Tuhan justru ingin menyelamatkan semua orang yang percaya kepadaNya. Dengan pengurbanan Yesus di kayu salib, kita bisa menyadari betapa besar kasihNya. Karena itu, tidak boleh ada keraguan bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang baik bagi kita, sekalipun hidup saat ini terasa berat.
Kesedihan atas apa yang menimpa kehidupan kita adalah normal tetapi tidak boleh mematikan hati. Kita terkadang boleh merasa sedih, tetapi tidak perlu terus hidup dalam kesedihan. Mengapa begitu? Karena kita tidak mau menghancurkan hidup kita sendiri. Kita tidak ingin untuk hidup dalam penderitaan karena merasa malang, karena merasa bahwa kita adalah orang yang termalang. Itu adalah sikap mengasihani diri sendiri, yang bisa membuat orang sekuat bagaimana pun menjadi lumpuh.
Jika ada perbedaan antara Ayub dan umat Tuhan lainnya, itu adalah dalam hal bagaimana Ayub tetap percaya dan setia kepada Tuhan sekalipun hidupnya dilanda malapetaka yang datang satu persatu. Ayub merasa sedih dan tertekan, tetapi tidak mempertanyakan kebijaksanaan Tuhan. Ayub tidak memberontak dan menghujat Tuhan, karena ia tetap yakin bahwa Tuhan adalah mahabijaksana dan mahakasih. Ayub tahu bahwa Tuhan yang memberi adalah Tuhan yang berhak untuk mengambil kembali (Ayub 1: 21). Ayub menyadari bahwa dengan memikirkan kemalangan hidupnya, penderitaannya tidak akan berhenti, tetapi justru membuatnya lelah dan gelisah. Penderitaan memang bisa bertambah besar karena pikiran negatif manusia.
“Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul.” Ayub 3: 26
Saat ini, jika kita mengeluh bahwa apa yang buruk sering terjadi dalam hidup kita tanpa sebab yang jelas, kita mungkin lupa bahwa kita sudah menerima hal yang sangat baik padahal kita tidak pantas untuk memperolehnya. Kita manusia yang berdosa, tanpa sebab yang jelas, sudah memperoleh kasih karunia penebusan Yesus Kristus. Siapakah kita, sehingga Tuhan memilih kita untuk memperoleh pengenalan akan jalan keselamatan? Pikiran negatif memang bisa menghancurkan, tetapi pikiran yang positif akan membawa semangat baru.
“Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.” Amsal 17: 22