“Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar.” Ulangan 16: 19

Akhir-akhir ini, saya sering merasa masygul selesai membaca berita media tentang penyalahgunaan uang negara. Di saat pandemi masih merajalela, ada saja orang yang memanfaatkan kekacauan untuk mengambil keuntungan pribadi. Herannya, mereka yang melakukan hal-hal semacam ini seolah-olah menikmati “ketenaran” yang diperolehnya bersama kekayaan yang membuat orang lain menggelengkan kepala.
Sejak dulu kala korupsi dengan segala bentuknya sudah ada. Yakub misalnya, menipu saudaranya, Esau, untuk memberikan hak anak sulungnya hanya untuk semangkuk sup kacang merah (Kejadian 25: 33-34). Mungkin untuk sebagian orang, kejadian ini bukanlah korupsi tetapi proses jual beli yang konyol. Walaupun demikian, apa yang dilakukan oleh Yakub adalah mirip dengan apa yang kita kenal dengan memberi uang suap (bribe) untuk mendapat keuntungan pribadi yang tidak seharusnya. Memberi/meminta sesuatu kepada orang lain dengan maksud tidak jujur atau tidak etis untuk menguntungkan diri sendiri adalah korupsi.
Mengapa ada korupsi? Karena manusia ingin memperoleh keuntungan dengan cara yang gampang. Dengan memutarbalikkan keadilan, seseorang dapat memperoleh fasilitas atau dukungan dari orang lain, sekalipun itu sebenarnya bukan haknya. Dengan mengabaikan keadilan, orang melanggar hukum karena adanya imbalan dari orang lain. Perbuatan korupsi selalu mengorbankan orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Biarlah orang lain merugi, asal diri sendiri mendapat keuntungan.
Masalah korupsi adalah masalah rumit yang terjadi di negara dan masyarakat manapun. Walaupun demikian, hal ini jarang dibahas di gereja, mungkin karena agak sensitif terutama dalam sangkut pautnya dengan kehidupan anggota gereja dan situasi hukum setempat. Banyak orang yang kurang senang jika hal ini dibahas secara mendetail di gereja.
Karena situasi hukum yang kurang baik, memang mungkin bagi seseorang untuk melakukan korupsi tanpa harus melanggar hukum setempat. Karena kebiasaan dan etika masyarakat, mungkin saja orang memakai cara-cara tertentu yang kurang benar untuk “melicinkan” jalan masuk ke sekolah, universitas dan pekerjaan. Dengan dalih pemerataan ekonomi dan menolong orang lain, sering juga orang menggunakan jalan belakang untuk memperoleh keuntungan dalam bisnis, agama dan politik. Karena apa yang dilakukan manusia selalu disesuaikan dengan sikon, Tuhan seolah mempunyai standar yang berbeda-beda untuk manusia. Memang banyak orang menganggap bahwa tujuan boleh menghalalkan cara.
Kebiasaan dengan korupsi juga bisa membawa pengertian yang keliru dalam hubungan dengan Tuhan. Banyak orang yang tidak mau menyerahkan hidupnya kepada Tuhan sebelum hasrat kebutuhannya terpenuhi. Sebaliknya, ada orang yang berpikir bahwa Tuhan akan menuruti kehendaknya setelah memberikan persembahan kepada Tuhan.
Hari ini kita diingatkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang kita imani dan karena itu hukumNya adalah sama di seluruh dunia dan di sepanjang waktu. Sebagai orang beriman kita harus menjunjung keadilan untuk seluruh umat manusia, dan karena itu harus hidup dengan jujur satu dengan yang lain. Lebih dari itu, kita juga harus mempunyai iman yang benar dan jujur kepada Tuhan.
“Tetapi engkau, kalau engkau mencari Allah, dan memohon belas kasihan dari Yang Mahakuasa, kalau engkau bersih dan jujur, maka tentu Ia akan bangkit demi engkau dan Ia akan memulihkan rumah yang adalah hakmu.” Ayub 8: 5-6