Kegagalan membuat kita bisa melihat kasih Tuhan

Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” 1 Raja-raja 19: 4

Pernahkah anda merasa bahwa apa yang sudah anda kerjakan adalah sia-sia, tidak berguna atau berakhir dengan kegagalan? Anda bukan orang satu-satunya! Semua orang, termasuk mereka yang terlihat berhasil dalam hidupnya, pasti pernah mengalami perasaan yang tidak menentu dan bahkan sangat pahit, ketika mengalami apa yang terlihat sebagai kegagalan. Perasaan menyesal, malu, marah, dan sedih mungkin kemudian muncul silih berganti.

Di sepanjang sejarah, kita bisa membaca kisah orang-orang ternama yang mengalami goncangan hidup karena apa yang mereka pandang sebagai “failure“, yaitu kegagalan. Dan pada saat pandemi ini, kita juga mendengar bagaimana banyak dokter dan jururawat yang merasa gagal karena mereka tidak dapat menyelamatkan pasien mereka dari kematian. Kita juga tahu bahwa mereka yang sangat tertekan dengan perasaan gagal itu bisa merasa putus asa dan bahkan kehilangan pikiran sehatnya.

Alkisah pada saat itu seorang nabi Tuhan yang bernama Elia baru saja menang bertanding. Ia mengajak nabi-nabi dewa Baal untuk bertanding dalam hal kurban bakaran. Elia membuat sebuah mezbah dengan kurban bakarannya, demikian pula nabi-nabi dewa Baal membuat tempat persembahan lengkap dengan kurban bakaran. Elia menantang mereka untuk memanggil Baal guna mendatangkan api keatas kurban mereka, supaya orang bisa melihat apakah dewa Baal memang ada. Mereka gagal total. Baal tidak menjawab! Sebaliknya, ketika Elia mempersembahkan kurban bakarannya, api dari Tuhan datang menyambar dan membakar kurban itu. Elia menang. Dan Elia tentunya yakin bahwa Tuhan ada di pihaknya. Kemenangan Elia bahkan diakhiri dengan tewasnya ratusan nabi-nabi Baal.

Kemenangan biasanya terasa manis. Dan mungkin Elia juga merasakannya saat itu. Aku menang! Begitu mungkin ia berpikir. Tetapi kegembiraan yang ada berubah menjadi kekecewaan. Bani Israel tidak bertobat sekalipun Baal sudah terbukti dewa palsu. Raja Ahab dan permaisurinya yang jahat, Izebel, tetap berjaya. Elia mungkin merasakan kekosongan dalam kemenangannya. Ia mulai meragukan apakah semua usahanya ada gunanya. Ia merasa bahwa semua jerih-payahnya untuk membuat bani Israel bertobat adalah sia-sia. Dalam kekecewaannya pikiran sehat Elia mulai hilang. Ia lupa bahwa Tuhan yang mahakuasa adalah Allah yang mempunyai rancangan, yang akan digenapi pada waktu yang Ia tentukan.

Ketika Izebel mengancam untuk menghabisi nyawa Elia sebagai pembalasan, Elia yang berada dalam keadaan lemah rohaninya, merasa sangat takut. Ia melarikan diri. Elia yang sebelumnya berani bertanding melawan nabi-nabi dewa Baal karena yakin akan penyertaan Tuhan, sekarang menjadi Elia yang merasa lemah dalam kesendiriannya. Elia mungkin saja mengalami depresi berat. Bukan karena Tuhan sudah meninggalkannya, tetapi karena ia merasa bahwa Tuhan sudah meninggalkannya. Elia menjadi orang yang kehilangan akal, mungkin seperti banyak orang ketika mengalami kegagalan dalam hidup mereka.

Elia melarikan diri dari Izebel. Takutkah ia akan kematian? Mungkin saja tidak. Ia merasa takut dan lari dari Izebel karena pikirannya yang goncang dalam kekecewaannya. Tetapi Elia justru mengharapkan kematian. Ia merasa gagal total seperti nenek moyangnya dalam usaha mereka untuk memimpin umat Israel kearah yang benar. Ia ingin mati karena ia merasa bertanggung jawab atas semua yang sudah terjadi. Ia lupa bahwa Tuhanlah yang memegang kendali.

Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” 1 Raja-Raja 19: 4

Ketika Tuhan menjumpai Elia ditempat persembunyiannya, Tuhan mengerti mengapa Elia lari dari kenyataan. Apa yang Elia butuhkan adalah keyakinan bahwa Tuhan tetap mengasihinya dalam setiap keadaan. Tuhan tahu bahwa Elia tidak akan sanggup menghadapi tantangan kehidupan seorang diri. Tuhan kemudian memberikan Elia penghiburan dan kekuatan dengan mengirim malaikatNya (1 Raja-Raja 19: 5 – 8).

Dalam ayat pembukaan di atas, kita bisa melihat bahwa sebagai manusia, Elia tidak berbeda dengan kita. Dalam kesulitan, Elia merasa bahwa ia adalah satu-satunya hamba Tuhan yang tertinggal dan tidak ada orang lain yang bisa membantunya. Rasa belas kasihan kepada diri sendiri muncul, dan hidupnya terasa malang karena ia merasa dibenci oleh semua orang. Elia merasa tidak lagi berguna dan ingin mati. Ia lupa bahwa Tuhan yang mahakuasa adalah Tuhan yang pengasih, yang tetap menghargai umatNya dalam setiap keadaan.

Tuhan yang mengasihi Elia, kemudian mengutusnya untuk mengurapi tiga pemimpin bani Israel. Tuhan juga memberitahu Elia bahwa ada tujuh ribu orang yang masih taat kepadaNya. Tuhan jelas menyatakan bahwa Elia yang merasa kalah itu adalah orang yang justru berguna untuk Dia. Elia yang merasa sendirian dan merasa tidak dimengerti orang lain, ternyata masih mempunyai banyak teman seiman. Elia tidak sendirian, terutama karena Tuhan sudah menyatakan kasihNya.

Hari ini, jika kita merasa sedih, tertekan, atau juga depresi, mungkin kita merasa bahwa hidup kita tidak berguna lagi. Seperti Elia, mungkin kita merasa semua usaha baik kita sia-sia. Seperti Elia, kita mungkin lupa bahwa Tuhan yang menyertai kita pada saat yang lalu, adalah Tuhan yang sekarang beserta kita. Tuhan jugalah yang bisa dan mau memakai sisa hidup untuk kemuliaanNya di masa depan!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s