Karena satu tubuh

“Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.” Galatia 6: 10

Di dunia ini ada berbagai ragam agama dan kepercayaan yang mempunyai pandangan dan pengajaran yang berbeda. Walaupun demikian, agama Kristen mempunyai pengajaran yang khas karena menekankan unsur “kasih”. Karena itu, bagi orang Kristen semua pertanyaan di bawah ini mungkin mudah untuk dijawab.

  • Siapakah yang harus kita kasihi? Jawab: Tuhan dan sesama kita.
  • Mengapa kita harus mengasihi sesama manusia? Jawab: karena Tuhan mengasihi seisi dunia.
  • Apakah Tuhan mengasihi seluruh umat manusia tanpa membeda-bedakan? Jawab: Tuhan lebih mengasihi orang yang percaya dan taat kepada-Nya.

Tetapi bagaimana dengan pertanyaan ini: Apakah orang Kristen patut untuk “pilih kasih” dengan lebih mengasihi sesama orang beriman? Pertanyaan ini mungkin bisa membuat kita berpikir dalam-dalam.

Sebagian orang Kristen yakin bahwa mereka harus mengasihi sesama manusia tanpa pandang bulu. Bukankah Yesus berkata bahwa kita harus mengasihi mereka yang tidak kita kenal dan juga musuh kita? Lukas 10: 30 – 37 menyatakan bahwa kita harus bisa menjadi seperti orang Samaria yang bisa bermurah hati kepada siapa pun.

Memang benar bahwa kita harus bisa mengasihi semua orang dari mana pun asalnya, bagaimanapun penampilan, sikap serta sifatnya. Walaupun demikian, Alkitab dalam ayat pembukaan di atas menyatakan bahwa kita harus mau berbuat baik kepada semua orang, terutama kepada kawan-kawan kita seiman.

Jelas bahwa kasih kita kepada sesama orang beriman haruslah lebih besar jika dibandingkan dengan kasih kita kepada orang lain. Mengapa demikian? Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menulis bahwa sebagai anggota tubuh Kristus kita adalah sepenanggungan. Metafora tubuh untuk menggambarkan kesatuan bukanlah hal yang asing. Banyak penulis Yunani-Romawi kuno yang menggunakannya. Pada umumnya mereka memakainya dalam konteks politik atau negara. Dengan demikian, jemaat di Korintus juga pasti sudah terbiasa dengan metafora ini.

“Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya” 1 Korintus 12: 27

Mengasihi sesama anggota tubuh, yakni saudara seiman, adalah kewajiban; tetapi, dalam kenyataannya orang Kristen mungkin lebih sering menyatakan rasa kurang suka dan bahkan rasa benci kepada mereka yang sebenarnya seiman dalam Kristus Yesus. Selain itu, kebanyakan orang Kristen hanya peduli atas saudara seiman yang segereja, segolongan, sedoktrin, sesuku dan senegara. Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah kita seharusnya dapat ikut merasakan penderitaan, kesulitan dan perjuangan yang dialami oleh saudara-saudara seiman?

“Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.” 1 Korintus 12: 26 – 27

Keragaman sering kali menjadi ancaman bagi kesatuan. Ini terjadi karena banyak orang cenderung lebih menekankan perbedaan yang superfisial (hanya di permukaan) daripada menggali kesamaan yang lebih esensial (ada di dalam). Mereka lebih terpaku pada kuantitas perbedaan daripada kualitas kesamaan. Tidak heran, ejek-mengejek dan pertikaian sering muncul atas nama perbedaan. Persoalan seperti ini sangat disayangkan. Satu kesamaan esensial (kematian dan kebangkitan Yesus) seharusnya cukup untuk menyisihkan banyak perbedaan superfisial.

Paulus menggunakan ungkapan “adalah tubuh Kristus”. Bukan sekadar “adalah tubuh”. Bukan sembarang tubuh. Kristus adalah kepala yang memimpin dan mempersatukan seluruh bagian tubuh. Kebenaran ini tampaknya dengan mudah dilupakan atau diabaikan.

Gereja sebenarnya adalah sebuah organisme, bukan organisasi. Bukan perkumpulan, tetapi persekutuan. Keanggotaan bukan sekadar terdaftar, melainkan kedekatan. Yang ditawarkan dalam persekutuan ini bukan hanya keramahan, namun juga persahabatan. Hubungan tidak dibatasi oleh bangunan dan kebaktian, tetapi mencakup seluruh kehidupan.

Kesamaan secara spiritual seharusnya melampaui semua perbedaan rasial, personal, maupun kultural. Kesamaan ini seharusnya membuat semua orang Kristen untuk menjadi “senasib sepenanggungan”. Bisakah kita hidup damai dengan semua orang, terutama dengan saudara seiman? Maukah kita saling menolong dan saling menguatkan?

“Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita?” 2 Korintus 11: 29

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s