Hal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

“Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya.” Efesus 5: 28-30

Adanya pandemi Covid-19 yang berkepanjangan ini telah membawa berbagai dampak yang tidak hanya menyangkut kesehatan, pendidikan dan pekerjaan, tetapi jauh lebih luas dari itu. Salah satu dampak yang kurang diketahui umum adalah meningkatnya tingkat keparahan dan frekuensi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mengapa begitu? Mungkin karena adanya berbagai bentuk PPKM, kebanyakan orang terpaksa tinggal di rumah terus; dan karena keadaan ekonomi yang buruk, orang lebih mudah untuk bertengkar.

Tragisnya, kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi di mana saja, bahkan di rumah-rumah orang Kristen. Tragedi ini diperparah oleh fakta bahwa banyak orang Kristen yang menjadi korban pelecehan pasangan, telah diyakinkan bahwa perceraian bukanlah respons yang diizinkan Tuhan. Akibatnya, banyak orang yang menderita berbagai bentuk pelecehan dalam pernikahan mereka selama bertahun-tahun.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan rumah tangga. Yang merupakan lingkup tindakan KDRT adalah perbuatan terhadap seseorang, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban yang justru sebaliknya. Tidak semua tindakan KDRT dapat ditangani secara tuntas karena korban sering menutup-nutupi dengan alasan ikatan struktur budaya, tabu, agama, dan belum dipahaminya sistem hukum yang berlaku.

Secara umum, KDRT sering timbul karena istri yang tidak berada dalam posisi yang setara, baik secara fisik, pendidikan maupun ekonomi, sehingga harus hidup bergantung pada suami. Yang bisa memperburuk situasi ialah adanya masyarakat tertentu yang menganggap bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tegas. Selain itu, pengertian keliru terhadap ajaran agama bisa menimbulkan anggapan bahwa laki-laki boleh dan malahan harus bisa menguasai perempuan. Oleh sebab itu, KDRT sering dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi dalam hubungan suami istri.

Orang Kristen tentunya harus menjunjung tinggi integritas pernikahan sebisa mungkin, dan dalam hal ini ayat di atas menyatakan bahwa seorang suami harus bisa mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri. Lalu bagaimana jika kasih yang diharapkan itu tidak ada, dan sebaliknya hanya kekerasan fisik, mental atau penguasaan semena-menalah yang dialami? Bolehkah seorang istri meninggalkan suaminya karena mengalami pelecehan yang terus menerus?

Tuhan membenci perceraian, dan itu bukan bagian dari rancangan-Nya untuk pernikahan (Kejadian 2:24; Maleakhi 2:16). Namun demikian, Alkitab menyajikan kasus-kasus di mana perceraian diperbolehkan. Dalam Perjanjian Baru, dua pengecualian eksplisit terhadap aturan umum yang menentang perceraian yaitu (1) perzinahan (Matius 5:3 2; 19: 9) dan (2) ditinggalkan oleh pasangan yang tidak percaya (1 Korintus 7:15). Tapi apakah dua hal ini saja yang memberi pengecualian? Apakah adanya KDRT bisa menjadi alasan bagi seseorang untuk bercerai?

Perjanjian Baru tidak menyatakan apapun mengenai kekerasan dalam rumah tangga sebagai alasan untuk melakukan perceraian, meskipun menjelaskan apa saja yang Allah harapkan dari sebuah pernikahan (Efesus 5: 22-33). Kekerasan bertentangan dengan kehendak Tuhan atas perkawinan manusia. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan hal yang tidak bermoral dan tidak bisa ditoleransi oleh siapa pun. Tidak ada seorang pun yang diharuskan untuk tetap tinggal di lingkungan yang berbahaya, yang secara cepat atau lambat akan menghancurkan atau mematikan seseorang secara jasmani atau rohani.

Karena Alkitab tidak mencantumkan kekerasan rumah tangga sebagai alasan bagi seseorang untuk bercerai, kita harus sangat berhati-hati dan membatasi nasihat/anjuran mengenai kasus KDRT. Jika dalam keluarga ada anak-anak, mereka juga harus ikut dilindungi dari ancaman/bahaya yang ada. Adalah hal yang baik jika mereka yang mengalami kekerasan untuk memisahkan diri, setidaknya untuk sementara waktu, dari para pelaku kekerasan. Pada kenyataannya, melindungi diri sendiri dan anak-anak merupakan hal yang benar secara moral dan harus dilakukan secepatnya. Selain itu, tindakan apa lagi yang bisa dilakukan setelah itu?

Perlu diingat, walaupun Allah kelihatannya hanya mengizinkan perceraian dengan dua alasan di atas, kondisi itu tidak secara otomatis memulai proses perceraian. Perceraian selalu menjadi jalan yang terakhir. Dalam kasus perselingkuhan, akan lebih baik bagi suami-istri Kristen tersebut untuk melakukan rekonsiliasi daripada bercerai. Lebih baik untuk memberikan pengampunan dan memberikan kasih yang Allah telah berikan kepada kita dengan cuma-cuma:

“Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” Kolose 3: 13-14

Walaupun demikian, rekonsiliasi dengan pelaku kekerasan adalah hal yang berbeda dengan pelaku dua pelanggaran lainnya. Rekonsiliasi dengan pasangan yang suka melakukan kekerasan bergantung sepenuhnya pada kesungguhan dan kemampuan si pelaku untuk berhenti melakukan kekerasan, yang mungkin bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun – jika itu memang bisa sepenuhnya terjadi. Pemisahan dari pasangan yang suka melakukan kekerasan cenderung berlangsung cukup lama dan sering mengakibatkan tragedi pada pihak yang lebih lemah, jika mereka tidak mendapat perlindungan hukum. Itu sering terjadi jika pihak yang berwenang dan gereja tidak menyadari keadaan yang ada atau tidak mau ikut campur.

Sebenarnya, ada sejumlah “tanda-tanda bahaya” yang bisa diuji sebelum seseorang memasuki hubungan pernikahan. Sayangnya, indikator ini bisa saja tidak terlihat hingga pernikahan sudah berlangsung, karena banyak pelaku kekerasan terampil menyembunyikan sifat asli mereka. Hal-hal yang harus membuat kita waspada misalnya saja: kecemburuan yang irasional, kebutuhan untuk mengendalikan, cepat marah, kejam terhadap hewan, berusaha mengisolasi pasangannya dari teman-teman dan keluarganya, ada penyalahgunaan obat atau alkohol, ataupun tidak menghormati batasan, privasi, ruang pribadi, atau nilai-nilai moral. Dalam hal ini, sebagai orang Kristen kita berkewajiban untuk memperingatkan mereka yang mau menikah untuk membuka mata atas kemungkinan adanya tanda-tanda itu.

Setiap orang Kristen sudah dikaruniai Roh Kudus yang bisa membimbing mereka agar mengerti akan maksud ayat di atas, dan benar-benar awas akan sifat, kelakuan dan penampilan calon pasangannya sebelum mengambil keputusan. Mereka harus sadar, jika hubungan suami dan istri tidak dapat meniru hubungan kasih antara Kristus dan jemaat-Nya, besar kemungkinan hubungan itu akan membuka kesempatan bagi tindakan kekerasan dan paksaan. Orang tidak boleh berpandangan bahwa Tuhan sudah menentukan orang yang disukainya untuk menjadi pasangannya. Kita harus sadar bahwa memilih jodoh adalah tanggung jawab manusia. Setiap orang harus bijaksana dalam mencari jodohnya.

Hari ini, firman Tuhan berkata bahwa pernikahan antara seorang pria dan wanita adalah suatu hubungan yang melambangkan hubungan Kristus dan jemaat-Nya. Hubungan yang berlandaskan kasih dan kemauan untuk saling berkurban. Adanya kekerasan dalam pernikahan dengan demikian adalah suatu hal yang dibenci Tuhan, dimana seorang sengaja bertindak semena-mena terhadap pasangannya. Kekerasan dalam rumah tangga harus dihilangkan dari masyarakat dan dari lingkungan yang mengaku adanya Tuhan yang mahakasih.

“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” 2 Korintus 6:14

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s