“Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu.” Kolose 3: 8

Mengapa orang bisa menjadi sangat marah sampai melakukan perbuatan tercela? Biasanya kemarahan yang luar biasa disebabkan oleh harga diri yang terasa diinjak-injak oleh orang lain. Orang mungkin marah karena perlakuan orang lain, tetapi selama mereka tidak merasa tersudut atau sangat terhina, kemarahan itu biasanya dapat diredakan. Sebaliknya, kemarahan yang didasari oleh kesombongan sering kali membuat orang geram dan mata gelap. Dengan demikian dosa terjadi karena munculnya pikiran dan tindakan jahat yang tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah (Yakobus 1: 20).
Tidak bolehkah orang Kristen marah? Tentu saja boleh jika itu pada tempatnya, misalnya ketika melihat adanya kejahatan atau ketidakadilan dalam hidup bermasyarakat. Walaupun demikian, kemarahan orang Kristen sebenarnya tidak boleh berdasarkan pada kebencian kepada sesama manusia, tetapi kepada kejahatan yang mereka perbuat. Kemarahan yang pantas bukanlah untuk membenarkan diri sendiri, tetapi untuk menegakkan kebenaran.
Kemarahan juga sering terjadi pada umat Kristen yang merasa tidak setuju atas pengertian atau cara hidup orang Kristen yang lain. Sering kali ini disebabkan oleh adanya perbedaan teologi atau pengajaran. Hal ini bisa menimbulkan berbagai debat, polemik dan tindakan lainnya. Dalam hal ini, setiap golongan merasa yakin bahwa golongan lain adalah salah dan mereka sendiri yang benar. Setiap pihak merasa bahwa mereka harus membela kebenaran yang mereka kenal dan Tuhan yang dikenal mereka. Mereka tidak sadar bahwa Tuhan seluruh umat Kristen adalah satu adanya dan Ia mengasihi seluruh umat manusia.
Tuhan kita adalah Tuhan yang mahakasih, tetapi Ia juga Tuhan yang bisa marah kepada umat manusia. Kemarahan yang muncul dalam bentuk yang mengerikan pernah terjadi ketika manusia secara sengaja tidak menghormati-Nya sebagai Tuhan yang mahakuasa dan mahasuci. Karena itu, Alkitab menuliskan bagaimana orang-orang yang melawan atau menipu Tuhan mengalami nasib yang menyedihkan. Walaupun demikian, Tuhan tidaklah membenci semua orang yang jahat. Semua orang pada hakikatnya adalah orang yang jahat, yang seharusnya menerima kebinasaan; tetapi, kepada mereka yang mau bertobat, pengampunan dan keselamatan tersedia untuk mereka.
Sebagai manusia kita memang boleh marah jika itu memang sesuai dengan kehendak Tuhan. Tetapi, kemarahan yang tidak pada tempatnya, yang berlama-lama, yang tidak membawa kebaikan, yang disebabkan oleh kesombongan pribadi, yang mengabaikan hukum kasih, yang tidak berdasarkan kebenaran firman Tuhan, dan yang tidak membawa kemuliaan bagi Tuhan adalah kemarahan yang harus kita hindari. Sebagai umat Tuhan kita percaya bahwa Ia mahaadil dan karena itu kita yakin bahwa Tuhanlah yang pada akhirnya mengambil tindakan yang paling tepat.
“Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau.” Mazmur 37: 1 – 2
Ketika Yesus membersihkan bait suci dari para penukar uang dan penjual hewan, Dia menunjukkan emosi dan kemarahan yang besar (Matius 21:12-13; Markus 11:15-18; Yohanes 2:13-22). Emosi Yesus digambarkan sebagai “cinta” untuk rumah Tuhan (Yohanes 2:17). Kemarahannya murni dan sepenuhnya dibenarkan karena pada akarnya adalah kepedulian terhadap kekudusan dan penyembahan Tuhan. Karena ini dipertaruhkan, Yesus mengambil tindakan cepat dan tegas. Ini berbeda dengan saat Yesus menunjukkan kemarahan di sinagoga Kapernaum. Ketika orang-orang Farisi menolak untuk menjawab pertanyaan Yesus, Ia memandang ke sekeliling mereka dengan amarah, sangat tertekan oleh hati mereka yang keras kepala (Markus 3:5).
Sering kali, kita menganggap kemarahan sebagai emosi yang egois dan merusak, yang harus kita hilangkan dari kehidupan kita sama sekali. Namun, fakta bahwa Yesus terkadang menjadi marah menunjukkan bahwa kemarahan itu sendiri adalah normal. Ini dibuktikan di tempat lain dalam Perjanjian Baru. Efesus 4:26 menginstruksikan kita “janganlah berbuat dosa” dan “janganlah matahari terbenam” atas amarah kita. Perintah-Nya bukan untuk menghindari kemarahan (atau menekannya atau mengabaikannya) tetapi untuk menghadapinya dengan benar, pada dan untuk waktu yang tepat.
Marilah kita perhatikan beberapa fakta berikut tentang kemarahan Yesus:
1) Kemarahannya memiliki alasan yang tepat. Dengan kata lain, Dia marah karena alasan yang benar. Kemarahan Yesus tidak muncul dari argumen kecil atau penghinaan pribadi terhadap-Nya. Tidak ada keegoisan yang terlibat.
2) Kemarahannya memiliki fokus yang tepat. Dia tidak marah pada Allah atau pada “kelemahan” manusia. Kemarahannya menargetkan perilaku berdosa dan ketidakadilan sejati.
3) Kemarahannya memiliki pendukung yang tepat. Markus 3:5 mengatakan bahwa kemarahan-Nya disertai dengan kesedihan karena kurangnya iman orang-orang Farisi. Kemarahan Yesus berasal dari kasih kepada orang-orang Farisi dan kepedulian terhadap kondisi rohani mereka. Itu tidak ada hubungannya dengan kebencian atau niat buruk.
4) Kemarahannya memiliki kontrol yang tepat. Yesus tidak pernah lepas kendali, bahkan dalam murka-Nya. Para pemimpin bait suci tidak menyukai pembersihan bait-Nya (Lukas 19:47), tetapi Dia tidak melakukan dosa apa pun. Dia mengendalikan emosi-Nya; tetapi emosi-Nya tidaklah mengendalikan Dia.
5) Kemarahannya memiliki durasi yang tepat. Dia tidak membiarkan kemarahan-Nya berubah menjadi kepahitan; Dia tidak menyimpan dendam. Dia menangani setiap situasi dengan benar, dan Dia menangani kemarahan pada waktu yang tepat.
6) Kemarahannya memiliki hasil yang tepat. Kemarahan Yesus memiliki konsekuensi tak terelakkan dari tindakan saleh. Kemarahan Yesus, seperti juga semua emosi-Nya, dikendalikan oleh Firman Bapa; jadi, tanggapan Yesus adalah selalu untuk menggenapi kehendak Bapa.
Pagi ini, kita disadarkan bahwa adalah fakta jika kita marah, terlalu sering kita memiliki kendali yang tidak tepat atau fokus yang tidak tepat. Sering kali kemarahan kita seakan menghancurkan orang lain dan bahkan sesama orang beriman. Dengan demikian, kita bisa gagal dalam satu atau lebih poin di atas. Inilah murka manusia, yang tentangnya kita diberitahu, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah, sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (Yakobus 1:19-20). Kita harus ingat bahwa Yesus tidak pernah menunjukkan kemarahan manusia yang membawa kehancuran, tetapi kemarahan Allah yang adil yang bisa membawa manusia ke arah pertobatan.