“Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” 1 Yohanes 1: 8

Mungkin sejak adanya Facebook, orang mulai mengerti bagaimana hidup dalam dunia maya. Perkembangan media elektronik memungkinkan orang di seluruh dunia untuk berkomunikasi, berteman dan bahkan jatuh cinta melalui internet. Kemajuan dalam teknologi ponsel juga membuat media lainnya seperti Youtube, Instagram dan TikTok bisa melaporkan “pandangan mata” dari mana saja.
Menampilkan foto selfie dan menyebarkannya ke seluruh dunia bisa membuat orang menjadi kaya karena kepopulerannya yang membawa penghasilan dari penampilan medianya. Walaupun demikian, sebagian orang tahu bahwa apa yang muncul di dunia maya sebagai hal yang memikat, tidaklah seindah yang sebenarnya. Banyak isi media itu adalah palsu, dan itu termasuk pribadi dan kehidupan orang yang muncul di sana.
Tanpa adanya media elektronik, hidup manusia sebenarnya sudah mirip dengan hidup di dunia maya. Apa yang terlihat bukanlah seperti yang sebenarnya. Orang yang nampaknya baik dari penampilannya, belum tentu demikian dalam hidupnya. Dan itu termasuk kita. Semua orang di dunia bukanlah orang baik di mata Tuhan yang tahu apa yang ada dalam hati dan pikiran kita.
Siapakah manusia yang tidak berdosa? Agaknya semua orang, dari segala bangsa dan segala agama, akan mengaku sebagai orang yang berdosa jika ditanya. Semua orang, bagaimanapun baiknya umumnya mengaku bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak sempurna. Walaupun demikian, jika ditanya apa yang sudah mereka lakukan untuk dosa-dosa mereka, mungkin tidak banyak yang bisa mereka katakan. Mungkin saja ada yang sudah bertobat dari dosa tertentu, tetapi tentunya banyak dosa-dosa lain yang tersisa. Mungkin jika dosa-dosa itu tidak terasa sebagai dosa besar, mereka dengan mudah melupakannya atau mungkin saja tidak menyadarinya. Hidup manusia adalah seperti foto selfie saja. Semua terlihat baik dan indah.
Sebagian yang dianggap dosa, mungkin bertalian dengan etika kehidupan. Memang etika bisa menjadi pedoman praktis tentang apa yang baik dan yang buruk dalam hidup sehari-hari. Tetapi, setiap manusia, keluarga, suku atau bangsa tentunya mempunyai etika yang berbeda-beda. Apa yang bisa diterima oleh orang yang satu, belum tentu bisa diterima oleh orang yang lain.Tidaklah mengherankan jika kita melihat bahwa ada orang -orang yang dengan enaknya melakukan sesuatu yang dianggap tabu oleh orang lain. Apalagi mereka yang berkuasa dan ternama biasanya tidak lagi mempunyai rasa segan atau malu untuk melakukan hal yang salah.
Bagi orang Kristen pun ada berbagai faktor yang bisa menyebabkan perbedaan pendapat tentang apa yang baik dan apa yang buruk, antara lain pendidikan, kebiasaan, tekanan ekonomi, situasi politik dan sebagainya. Semua itu bisa membuat orang tidak peduli atau kurang peka dengan dosa-dosa yang ada pada dirinya, atau yang ada dalam masyarakat. Apa yang kelihatan sebagai dosa kemudian diterima sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari, dan bahkan mungkin sebagai kehendak Tuhan. Mereka mungkin berpendapat bahwa dosa bukanlah hal yang harus dipikirkan jika mereka sudah dipilih oleh Tuhan untuk diselamatkan. Mereka lupa bahwa jika firman Tuhan bisa ditafsirkan seenaknya atau ada yang bisa diabaikan, hidup manusia akan perlahan-lahan jatuh ke dalam kehancuran.
Sebagai orang yang sudah diselamatkan, kita percaya bahwa Roh Kudus diam dalam hidup kita. Roh Kudus yang pada mulanya membuat kita sadar bahwa kita perlu menerima Yesus Kristus agar kita bisa diselamatkan, adalah Roh yang tinggal dalam hati kita dan membimbing kita agar hidup kita makin lama makin baik. Tetapi, jika kita kerap kali mengabaikan suara Roh Kudus dan lebih sering mengikuti kehendak kita sendiri, lambat laun kita akan makin sulit untuk mendengarkan suara-Nya karena kita sudah mendukakan Roh itu (Efesus 4: 30). Secara perlahan-lahan kita menjadi orang yang tidak peduli akan dosa kita dan dosa orang-orang di sekitar kita. Kita tidak juga peduli dengan keadaan bangsa, negara dan dunia.
Ketidakpedulian akan keadaan diri kita dan diri orang lain yang melakukan berbagai dosa, adalah sama dengan tidak mengakui dosa kita. Kita mungkin tidak lagi merasa perlu untuk berdoa memohon pengampunan dan meminta kekuatan untuk menghilangkan dosa-dosa itu dari diri kita, dari keluarga dan dari bangsa kita, karena hal-hal itu sudah kita terima sebagai kenyataan yang tidak bisa kita hindari. Mungkin saja kita berusaha melupakan hal-hal itu karena adanya keraguan bahwa Tuhan akan bertindak, dan mungkin juga karena adanya kekuatiran bahwa orang lain akan tersinggung atau marah. Dengan demikian kita berbuat dosa dengan mengabaikan kuasa Tuhan dan kebenaran hukum dan firman-Nya.
Pagi ini, adakah kesadaran yang muncul dalam hati kita bahwa ada banyak dosa yang terjadi dalam hidup kita, dalam keluarga, pekerjaan, sekolah, masyarakat dan negara kita? Apakah kita masih bisa merasakan teguran Roh Kudus yang menyatakan kepada kita bahwa ada hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh umat-Nya? Apakah kita masih bisa mendengar bahwa kita juga terpanggil untuk memerangi dosa yang ada dalam masyarakat di sekitar kita? Adakah rasa sesal dalam hati kita bahwa selama ini kita tidak mempunyai keberanian untuk menyatakan firman Tuhan dalam masyarakat? Biarlah pengakuan dosa atas ketidakpedulian kita selama ini boleh membawa perubahan sikap hidup kita pada hari-hari mendatang.
“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” 1 Yohanes 1: 9