“Orang bijak berhati-hati dan menjauhi kejahatan, tetapi orang bebal melampiaskan nafsunya dan merasa aman.” Amsal 14: 16

Kata “antinomianisme” berasal dari dua kata Yunani, yaitu anti, yang berarti “melawan”; dan nomos, yang berarti “hukum.” Antinomianisme secara harafiah berarti “melawan hukum.” Secara teologi, antinomianisme adalah doktrin yang menyatakan kalau Allah tidak mengharuskan orang Kristen untuk taat kepada hukum moral apa pun. Antinomianisme memang mengambil ajaran dari alkitab, namun kesimpulan yang ditarik tidaklah alkitabiah.
Serangan yang paling sering dilontarkan terhadap doktrin keselamatan melalui “anugerah semata-mata saja” adalah: doktrin itu mendorong seseorang untuk berdosa. Orang bisa saja bertanya-tanya, “Jika saya diselamatkan oleh anugerah dan semua dosa saya telah diampuni, mengapa tidak sekalian saja berbuat dosa sesuka hati saya?” Pemikiran ini bukanlah hasil dari pertobatan sejati. Pertobatan yang sejati akan menghasilkan hasrat yang lebih besar untuk menjadi taat, bukan sebaliknya. Kehendak Allah – dan kehendak kita saat kita telah dilahirkan kembali oleh Roh Kudus – adalah bahwa kita akan berusaha keras untuk tidak berbuat dosa. Sebaliknya, kita akan berusaha untuk berbuat baik.
Yang lebih parah lagi, saat ini banyak gereja yang dirongrong oleh pengajaran antinomianisme, yang tidak menekankan pentingnya perubahan hidup orang Kristen setelah menerima hidup baru. Tahun demi tahun dilewati, tetapi mereka tetap hidup bergelimang dalam dosa lama. Itu karena adanya pendeta-pendeta yang terlalu menekankan doktrin predestinasi, yaitu bahwa Allah sudah memilih orang Kristen untuk diselamatkan, dan keselamatan itu tidak bisa hilang selama orang hidup di dunia. Antinomianisme adalah seperti penyakit kanker yang menggerogoti gereja.
Sebagai orang Kristen, kita adalah orang-orang yang beruntung. Terlepas dari rasa syukur kita atas kasih karunia dan pengampunan Allah, kita pasti ingin menyenangkan-Nya. Allah telah memberikan kasih karunia-Nya yang tak terhingga dalam keselamatan melalui Yesus (Yohanes 3: 16; Roma 5: 8). Respon kita seharusnya adalah menguduskan hidup kita untuk-Nya, sebagai tanda kasih, penyembahan dan syukur kita atas segala yang telah dilakukan-Nya bagi kita (Roma 12: 1-2). Antinomianisme tidak alkitabiah karena menyalahgunakan makna kasih karunia Allah. Antinomianisme adalah alat iblis untuk menghancurkan hidup orang Kristen.
Antinomianisme bertentangan dengan apa yang diajarkan Alkitab. Allah mengharapkan kita untuk menjalani kehidupan yang penuh moralitas, integritas, dan kasih. Yesus Kristus membebaskan kita dari berbagai perintah di Hukum Perjanjian Lama. Namun, ini tidak berarti bahwa kita memiliki kebebasan untuk berbuat dosa, melainkan supaya kita mendapatkan perjanjian kasih karunia. Pandangan sesat antinomianisme itu sudah ada sejak lama, dan Rasul Paulus membahas isu antinomianisme dalam kitab Roma:
“Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” Roma 6: 1-2
Berbuat apa yang keliru bukan hanya terjadi dalam kehidupan jasmani. Dalam kehidupan rohani pun, orang mudah merasa tenteram dan lupa untuk berjaga-jaga jika mereka berada ditengah kelompok mereka. Umat Kristen yang merasa aman dalam lingkungan gereja mereka, cenderung untuk mengikuti apa yang sudah terbiasa dan tidak lagi berhati-hati dalam memilih jalan yang benar.
Ayat diatas menuliskan bahwa orang yang bijaksana selalu berhati-hati dan menghindari kejahatan. Yang menjadi persoalan ialah kenyataan bahwa tidak semua yang jahat terlihat begitu pada awalnya. Sering kali apa yang jahat justru muncul sebagai apa yang bisa dinikmati di tengah lingkungan yang aman, misalnya diantara anggota keluarga, kerabat atau teman. Karena adanya rasa aman selama berada dalam satu gereja, orang mudah untuk memakai pengertian teologi yang ada.
Lebih dari itu, mereka yang ada dalam suatu aliran gereja yang besar cenderung berpikir bahwa segala sesuatunya pastilah sudah dipertimbangkan masak-masak oleh orang lain, dan bagi mereka adalah lebih baik untuk menjalankan ajaran pendeta tanpa perlu berpikir atau berhati-hati. Mereka yang demikian tidak akan bertumbuh dalam kedewasaan iman dan dalam pengetahuan yang baik. Mereka tidak akan memperoleh pengalaman pribadi yang bisa membawa kebijaksanaan.
“Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang yang bijak memperhatikan langkahnya.” Amsal 14: 15
Seperti itulah orang yang tidak berpengalaman akan percaya kepada setiap perkataan orang lain dan melangkah menuju tempat yang nampaknya indah. Sebaliknya, orang yang bijak selalu berhati-hati kemana kaki mereka akan pergi. Setiap langkah yang kita ambil adalah tanggung jawab kita sendiri, dan jika kita terjatuh atau tersandung dalam melangkah, semua itu pada akhirnya adalah kita yang merasakan akibatnya dan kita sendiri yang harus mempertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Hari ini, mungkin kita merasa cukup bahagia dalam keadaan kita. Hidup berjalan seperti biasa, tanpa masalah yang berarti. Apa yang kita lakukan setiap hari selama ini berjalan terus. Untuk apa kita memikirkan hidup baik? Bukankah sebagai orang yang sudah diselamatkan kita bisa menikmati dan bahkan memanfaatkan apa pun selagi hidup? Firman Tuhan mencoba menginsafkan kita bahwa sebagai umat Tuhan kita tetap harus aktif dalam memilih apa yang baik menurut Tuhan dan apa yang baik untuk Dia dan sesama kita. Setiap orang bertanggung-jawab atas hidupnya, dan apa yang terjadi dalam hidup kita, baik jasmani maupun rohani, baik yang sekarang ataupun di masa depan, bergantung pada apa yang kita pilih dan lakukan. Sebagai pohon yang baik kita harus menghasilkan buah yang baik.