“Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” Matius 6: 19-20

Jika anda berpikir memiliki banyak uang, penampiln menarik, atau dikagumi banyak orang akan menambah kepuasan hidup anda, coba pikirkan lagi. Sebuah studi oleh tiga peneliti Universitas Rochester di New York menunjukkan bahwa keberhasilan di bidang ini sebenarnya dapat membuat seseorang justru kurang bahagia. Perlu dicatat, studi ini bukan dilakukan dalam bidang teologi.
“Orang-orang memahami bahwa penting untuk mengejar tujuan dalam hidup mereka dan mereka percaya bahwa mencapai tujuan ini akan memiliki konsekuensi positif. Studi ini menunjukkan bahwa ini tidak benar untuk semua tujuan,” kata Edward Deci, seorang profesor psikologi. “Meskipun budaya kita sangat menekankan pada pencapaian kekayaan dan ketenaran, mengejar tujuan ini tidak berkontribusi untuk memiliki kehidupan yang memuaskan. Hal-hal yang membuat hidup anda bahagia adalah tumbuh sebagai individu, memiliki hubungan kasih, dan berkontribusi pada komunitas anda, “ucap profesor Deci.
Makalah penelitian, yang sudah diterbitkan dalam Journal of Research in Personality edisi Juni 2009, melacak 147 alumni dari dua universitas selama tahun kedua mereka setelah lulus. Dengan menggunakan survei psikologis yang mendalam, para peneliti menilai peserta di bidang-bidang utama, termasuk kepuasan dengan hidup, harga diri, kecemasan, tanda-tanda fisik stres, dan pengalaman emosi positif dan negatif.
Aspirasi diidentifikasi sebagai “intrinsik” atau “ekstrinsik” dengan menanyakan kepada peserta seberapa besar mereka menghargai memiliki “hubungan yang dalam dan langgeng” dan membantu “orang lain meningkatkan kehidupan mereka” (tujuan intrinsik) dibandingkan dengan menjadi “orang kaya” dan mencapai “penampilan yang saya idamkan” (tujuan ekstrinsik). Responden juga melaporkan sejauh mana mereka telah mencapai tujuan ini. Untuk melacak kemajuan, survei dilakukan dua kali, setahun sekali setelah kelulusan dan lagi 12 bulan kemudian.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa semakin berkomitmen seseorang terhadap suatu tujuan, semakin besar kemungkinan keberhasilannya. Namun tidak seperti yang digembar-gemborkan banyak motivator, analisis ini menunjukkan bahwa mendapatkan apa yang diinginkan tidak selalu menyehatkan. Apa yang “mencolok dan paradoks” tentang penelitian ini, katanya, adalah bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa pencapaian materialistis dan pencapaian terkait citra sebenarnya berkontribusi pada penyakit jasmani dan rohani.
Terlepas dari prestasi mereka, individu mengalami lebih banyak emosi negatif seperti rasa malu dan marah, dan lebih banyak gejala-gejala stres seperti kecemasan, sakit kepala, sakit perut, dan kehilangan energi. Sebaliknya, individu yang menghargai pertumbuhan pribadi, hubungan dekat, dan keterlibatan dalam masyarakat lebih puas saat mereka mencapai kesuksesan di bidang tersebut. Mereka mengalami rasa kesejahteraan yang lebih dalam, perasaan yang lebih positif terhadap diri mereka sendiri, hubungan yang lebih kaya dengan orang lain, dan lebih sedikit tanda-tanda stres.
Semua hal di atas agaknya sudah pernah kita dengar, tetapi mengapa banyak orang masih mengagumi mereka yang kaya, yang mempunyai penampilan menarik, dan yang terkenal? Karena kagum pada sesuatu hal seseorang bisa kehilangan akal sehat dan kemudian jatuh cinta setengah mati. Karena dikagumi orang atas sesuatu hal, bisa membuat seseorang menjadi sombong setengah mati. Ini bukan saja terjadi di dunia musik, film, bisnis, politik dan teknologi, tetapi juga bisa dilihat dalam bidang keagamaan.
Banyak pemimpin agama yang dikagumi oleh pengikutnya. Entah itu karena hidupnya yang terlihat suci, karena hikmat kebijaksanaan yang terlihat dari luar, gerejanya yang megah, atau karena pelayanan sosial yang dilakukan mereka. Selain itu ada juga orang-orang lain yang dikagumi karena penampilan atau kemampuan jasmani mereka. Tambahan pula, ada orang-orang yang dikagumi karena sukses dalam bisnis atau bidang-bidang yang lain. Karena itu, tidaklah mengherankan jika tokoh-tokoh seperti itu menjadi seperti magnet yang mempunyai daya tarik besar. Banyak orang yang ingin menjadi seperti mereka.
Biasanya orang yang menafsirkan bahwa harta duniawi adalah uang, tetapi itu juga bisa diartikan penampilan, nama besar dan hal-hal lain yang tidak bisa dibawa orang sesudah ia mati. Semua yang terlihat indah, belum tentu membawa kebahagiaan selama hidup, tetapi sudah pasti bakal ditinggalkan sesudah kematian. Ayat diatas menunjuk kepada perintah kepada orang Kristen agar tidak mengumpulkan harta duniawi yang tidak abadi, tetapi sebaliknya mengumpulkan harta surgawi yang kekal. Kepuasan hidup tidak datang dari harta duniawi yang mudah lenyap, tetapi dari harta surgawi yang tidak bisa hilang.
Yesus mengajarkan agar kita mengumpulkan harta di surga tetapi tidak secara langsung menjelaskan harta apa yang dimaksud dan bagaimana cara mengumpulkannya. Karena itu, harta ini mungkin sering digambarkan serupa dengan benda-benda berharga yang pernah kita lihat, tapi lebih indah. Mereka yang mengumpulkan harta surgawi akan hidup dalam kenyamanan di surga. Itu jugalah yang diajarkan banyak agama-agama lain. Benarkah begitu?
Bahwa kita diselamatkan hanya karena darah Kristus, itu sudah kita ketahui. Kesuksesan kita bukanlah yang menjadi kunci untuk masuk ke surga. Kehidupan di surga tentunya lain dengan kehidupan dunia; kita tidak akan membutuhkan apa-apa untuk hidup disana. Karena itu kita tidak perlu mencari bekal untuk ke surga karena di rumah Tuhan tentunya segala sesuatu sudah tersedia. Tambahan lagi, untuk mereka yang setia dalam hidup di dunia, ada tersedia karunia khusus di surga (Matius 10: 42). Sekalipun kita bisa mengumpulkan segala yang indah, pastilah itu tidak sebanding dengan apa yang dimiliki Allah di surga (Wahyu 21: 21).
Manusia mengejar harta, penampilan dan kemasyhuran di dunia ini sebenarnya dalam usaha untuk mencari kebahagiaan dan kepuasan pribadi. Tetapi dari ayat diatas kita tahu bahwa semua itu sia-sia. Untuk mencari kebahagiaan selama hidup di dunia ini kita tidak boleh menggantungkan diri pada harta, penampilan atau kesuksesan kita, tetapi sebaliknya harus memakai hal-hal itu untuk kemuliaan Tuhan dan untuk mengasihi sesama kita:
“Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Lukas 12: 33-34
Ayat ini jelas menyatakan perlunya untuk kita dalam hidup ini untuk melepaskan diri dari belenggu harta dan kesuksesan duniawi agar hati dan hidup kita siap untuk dipusatkan kepada Tuhan. Agar kita dapat memperoleh kebahagiaan yang langgeng.
Harta, penampilan, dan kesuksesan tidaklah abadi, tetapi pengaruhnya bisa sangat besar dalam hidup kita. Semua itu bisa datang sebagai berkat Tuhan, tetapi juga bisa menjadi penguasa hati dan hidup kita. Harta, penampilan, dan kesuksesan bisa dipakai untuk memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama, tetapi juga bisa menjauhkan kita dari Tuhan dan sesama. Harta duniawi adalah hati yang diisi kerakusan dan ketamakan. Tetapi harta surgawi adalah hati yang diisi rasa syukur kepada Tuhan dan kasih kepada sesama manusia.
Hari ini, tantangan untuk kita adalah bagaimana kita bisa mengubah sikap dan pandangan kita terhadap uang, penampilan dan kesuksesan di dunia ini. Selama segala bentuk harta duniawi ini mengontrol hidup kita, kesempatan untuk mengumpulkan harta surgawi dalam bentuk hati yang penuh rasa syukur kepada Tuhan dan kerinduan untuk memuliakan nama-Nya serta kemauan untuk mengasihi sesama kita tidak akan bertumbuh. Akibatnya, kebahagiaan hidup kita di dunia ini akan sulit dicapai. Kita harus sadar bahwa hidup surgawi sudah bisa dirasakan oleh semua orang percaya selama hidup di dunia jika saja mereka mau membiarkan Tuhan untuk menguasai hati dan pikiran mereka!