“Tetapi sebaliknya, setelah mereka melihat bahwa kepadaku telah dipercayakan pemberitaan Injil untuk orang-orang tak bersunat, sama seperti kepada Petrus untuk orang-orang bersunat karena Ia yang telah memberikan kekuatan kepada Petrus untuk menjadi rasul bagi orang-orang bersunat, Ia juga yang telah memberikan kekuatan kepadaku untuk orang-orang yang tidak bersunat.” Galatia 2: 7-8

Sewaktu masih kecil, saya sering berpikir bagaimana bangsa Israel bisa menjadi umat pilihan-Nya. Tuhan memilih bangsa Israel dari mana Yesus Kristus akan dilahirkan sebagai Juruselamat umat manusia (Yohanes 3:16). Betapa beruntungnya bangsa Israel, bangsa pilihan Allah itu, begitu pikir saya. Tuhan pertama kali menjanjikan kedatangan Mesias selepas Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3). Tuhan kemudian meneguhkan bahwa Mesias akan datang melalui garis keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub (Kejadian 12:1-3).
Yesus Kristus adalah alasan utama mengapa Tuhan memilih Israel untuk menjadi umat pilihan-Nya. Tuhan tidak perlu mempunyai umat pilihan, namun Dia memutuskan untuk melakukannya dengan cara itu. Pada pihak yang lain, alasan Tuhan memilih bangsa Israel bukan semata-mata untuk membawa Mesias. Tuhan juga bermaksud supaya mereka menjadi bangsa yang bisa membimbing bangsa lain kepada Tuhan. Tetapi, bangsa Israel telah gagal dalam melaksanakan sebagian besar tugas ini. Malahan, sebagian bangsa Israel tidak akan memperoleh keselamatan karena mereka tidak memercayai Yesus sebagai Mesias (Matius 21: 43). Karena itu, saya sekarang tidak lagi menganggap bahwa bangsa Israel adalah bangsa yang beruntung.
Sejak kebangkitan Yesus, jumlah umat Kristen bertumbuh cepat di banyak negara. Tidak mengherankan bahwa ada orang-orang yang bukan Yahudi yang merasa bahwa untuk menjadi pengikut Yesus, mereka harus hidup seperti orang Yahudi. Mereka lupa bahwa bukan keyahudian yang membawa orang kepada keselamatan, dan bukan norma keagamaan, adat-istiadat dan kebiasaan Yahudi yang membuat mereka dipilih sebagai bangsa dari mana Sang Juruselamat datang. Mereka tidak sadar bahwa justru hal-hal itulah yang menghambat pertumbuhan kekristenan di dunia.
Pada saat itu Paulus mnyadari bahwa ada banyak orang Kristen Yahudi di Galatia yang kurang menyenangi, untuk tidak dikatakan membenci dirinya. Itu karena Paulus menolak untuk mengajarkan pentingnya hukum Taurat dan kebiasaan Yahudi bagi mereka yang ingin menjadi pengikut Kristus. Paulus menegur jemaat Galatia dengan menjelaskan bahwa ia telah diberi kepercayaan dari Tuhan untuk memberitakan Injil untuk orang-orang tak bersunat, sama seperti Petrus yang diutus Tuhan untuk pergi ke orang-orang bersunat. Dengan demikian, Paulus tidak merasa gentar untuk memberitakan Injil di luar orang Yahudi sekalipun banyak orang Yahudi yang menganggapnya bukan rasul yang benar.
Di zaman ini, persoalan yang dihadapi Paulus masih ada. Banyak orang Kristen yang mengikuti adat istiadat, peraturan, ritual, dan liturgi yang berbeda dengan apa yang dimiliki orang lain. Sebagian di antara mereka menuduh orang yang tidak sefaham dengan mereka adalah bukan orang pilihan Tuhan. Jika Paulus sampai-sampai diragukan kerasulannya pada waktu itu, banyak orang Kriten yang diragukan kekritenannya karena perbedaan yang ada. Mereka dianggap orang Kristen yang bodoh, sesat atau palsu.
Harii ini, jika kita meneliti hidup kita, biarlah Firman Tuhan bisa menyentuh hati kita. Bahwa bukannya kebiasaan dan ritual agama yang membuat kita menjadi orang Kristen sejati, karena apa yang kita lakukan dalam hidup sehari-harilah yang lebih penting. Seperti bungkus tidak menentukan isi, begitu juga isi hidup kitalah yang lebih penting di hadapan Tuhan. Yesus sudah membayar hidup kita dengan harga termahal, dan pengurbanan-Nya bukanlah agar kita mempunyai penampilan yang baik menurut hukum Taurat, tetapi agar kita memiliki hidup baru di dalam Dia dan menghasilkan buah-buah Roh yang memuliakan Tuhan.
“Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Galatia 3:28: