“Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.” 1 Timotius 6: 6

Bacaan: 1 Timotius 6: 6 – 10
Ayat di atas menyebutkan bahwa hidup orang Kristen yang disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Mengapa begitu? Banyak orang yang berpendapat bahwa hidup bahagia bisa tercapai jika orang bisa mencapai apa yang diinginkan. Di zaman ini sering diajarkan bahwa melalui Tuhan berbagai berkat akan datang melimpah kepada mereka yang mau meminta. Tetapi, ayat di atas menyatakan bahwa kebahagiaan justru bisa tercapai dengan mengurangi apa yang diinginkan dari Tuhan.
Dalam ayat di atas kata “ibadah” dipakai, tetapi dalam Alkitab berbahasa Inggris kata “godliness” lah yang sering dipakai. Kata ini diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai “kesalehan”, yaitu hidup yang sesuai dengan perintah Tuhan. Apa sebenarnya arti kata “ibadah”? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang didasari ketaatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini, jika disertai rasa cukup, akan membawa kebahagiaan dalam hidup kita.
Hidup dengan rasa cukup dikatakan akan memberi keuntungan besar. Tetapi bagaimana mengartikan rasa cukup? Setiap orang tentunya menafsirkan ini menurut ukurannya sendiri. Bagi sebagian orang, rasa cukup sulit dicapai karena adanya keinginan dan kebutuhan yang semakin lama semakin besar. Dengan demikian, rasa bahagia dan rasa puas tentu saja sulit untuk dicapai. Karena itu Paulus dalam suratnya kepada Timotius menulis bahwa jika orang ingin untuk berbahagia, ia justru harus bisa merasa puas dengan apa yang sudah ada.
Paulus melanjutkan dengan menulis bahwa manusia tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan mereka tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Karena itu, asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Dengan adanya rasa cukup, rasa sukacita akan tumbuh; tetapi tanpa adanya rasa cukup orang akan selalu merasa kurang puas dan kecewa. Tidaklah mengherankan bahwa mereka yang rakus sering terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan derita!
Kerakusan yang disebut sebagai salah satu dari tujuh dosa yang mematikan (Seven Deadly Sins) ialah dosa pokok yang dapat menyebabkan terjadinya dosa-dosa lainnya seperti pencurian, korupsi, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga sifat kikir dan tidak mau berbagi. Bahasa Latin menyebut jenis dosa ini sebagai avaritio, berakar pada kata avarus, dengan avere sebagai kata kerja, yang artinya ‘memiliki hasrat internal yang sangat kuat’ (to crave) setelah terpapar pada sesuatu. Di sini kita sekarang mengerti mengapa jenis dosa ini berhubungan dengan indera penglihatan (mata). Artinya, setelah melihat suatu kekayaan/kemewahan di tempat lain, seseorang memiliki hasrat yang sangat kuat dalam dirinya untuk mendapatkan kemewahan tersebut. Umumnya kata ini digunakan untuk mendeskripsikan sifat manusia yang tidak pernah merasa puas dalam mengejar,menumpuk, dan memamerkan kekayaan material. Ini memang sekarang sudah berkembang pesat sehingga julukan “crazy rich people” atau “orang super kaya” sudah menjadi kebanggaan atau status yang hebat.
Tidak mudah menjelaskan sifat rakus sebagai dosa. Ada berbagai pertanyaan mendasar yang harus dijawab, misalnya, apa ukurannya seseorang yang memiliki kekayaan material dianggap rakus atau tidak rakus? Jika ukurannya bersifat subjektif, bukankah sifat rakus tidak bisa disematkan pada perilaku orang tertentu? Memiliki harta atau barang-barang yang terlihat indah memang bukanlah hal yang salah. Benda-benda material yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia bukanlah sesuatu yang jahat atau buruk pada dirinya. Benda-benda tersebut bernilai instrumental, dan nilai itu diberikan manusia. Kita pantas memiliki benda-benda tertentu karena bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan primer, seperti makanan, pakaian, perumahan. Selain itu kebutuhan manusia lainya bisa menyangkut berbagai hal, seperti seni, hiburan, olahraga dan sebagainya.
Salahkah kalau kita menjadi orang yang kaya? Tetntu saja tidak, selama kekayaan itu diperoleh dengan cara yang halal. Walaupun demikian, kekayaan yang diperoleh untuk kepentingan diri sendiri bukanlah apa yang dikehendaki Tuhan. Demikian juga jika keinginan dan kebutuhan sudah menjadi kerakusan, itu justru akan menjadi ilah yang menjauhkan kita dari Tuhan. Kehendak Tuhan yang sudah dinyatakan dalam Alkitab mengajarkan kita untuk bersikap ‘murah hati’ dengan sesama kita. Sikap murah hati inilah keutamaan yang bisa menangkal kerakusan. Mereka yang berhasil, tidak hanya mampu menyeimbangkan upaya meningkatkan dan mempertahankan kekayaan material, tetapi juga harus punya kesadaran tentang pentingnya sikap ‘ketidaklekatan’ atau sikap lepas-bebas dalam diri, bahwa meskipun kaya raya, dia tidak menaruh hati dan kelekatannya pada harta kekayaan tersebut. Mereka mau untuk membagikan kekayaan mereka kepada orang lain untuk memuliakan nama Tuhan.
Pagi ini, firman Tuhan mengingatkan bahwa sekalipun hal mencapai kesuksesan matetial bukanlah sebuah perkara hitam-putih, tetapi kita harus mampu memeriksa batin kita secara saksama dan jujur. Pada akhirnya, baik yang kaya maupun yang kurang mampu, kita dituntut untuk mampu membedakan manakah yang utama/pokok dan manakah yang kurang penting dalam hidup ini. Kita diajak untuk tidak melekatkan hati pada kekayaan material, dan bersikap murah hati pada sesama. Semua itu akan membawa keuntungan dan kebahagiaan dalam hidup kita di dunia.