“Waspadalah, supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu, tetapi supaya kamu mendapat upahmu sepenuhnya. Setiap orang yang tidak tinggal di dalam ajaran Kristus, tetapi yang melangkah keluar dari situ, tidak memiliki Allah. Barangsiapa tinggal di dalam ajaran itu, ia memiliki Bapa maupun Anak” 2 Yohanes 1: 8-9

Pertanyaan umum bagi banyak orang Kristen adalah, “Dapatkah saya kehilangan keselamatan saya?” Kemungkinan jawabannya tentu hanya dua: ya atau tidak. Dalam hal ini, saya telah mendengar kedua sisi argumen dan percaya bahwa hanya Tuhan yang benar-benar tahu jawabnya. Alasan terjadinya perdebatan antar umat Kristen adalah karena Alkitab mengajarkan bahwa keselamatan adalah anugerah dari Tuhan yang tidak dapat diperoleh manusia dengan usahanya sendiri, tetapi Alkitab juga memberikan peringatan tentang adanya kemurtadan. Adalah lumrah jika ada ketegangan yang sehat antara kedaulatan Tuhan dan tanggung jawab manusia. Tetapi, isu ini juga sering menimbulkan perpecahan gereja, elitisme golongan, atau superioritas teologi.
Satu aliran pemikiran menyarankan bahwa keselamatan tidak bisa hilang, seperti kehilangan kunci mobil Anda. Kunci mobil bisa terjatuh atau diambil orang lain, tetapi keselamatan adalah suatu keadaan yang diciptakan Tuhan untuk seseorang dan milik Tuhan. Bagaimana itu bisa hilang atau dicuri? Walaupun demikian, keselamatan bisa ditinggalkan manusia, seperti menjauh darinya. Ini mungkin mengapa Yesus berbicara tentang orang yang berkata dalam hatinya “tuanku menunda kedatangan-Nya; oleh karena itu, saya akan berbalik dari menjalani kehidupan yang saleh”. Ketika tuannya kembali secara tidak terduga, pelayan itu dibuang karena dia memilih untuk berbalik dari apa yang dia tahu benar (Matius 24: 48-51).
Aliran pemikiran yang lain menyarankan bahwa beberapa perikop berhubungan dengan orang-orang yang tidak pernah sepenuhnya berserah kepada Kristus. Akibatnya, mereka jatuh. Mereka mendengar Injil, tetapi tidak pernah sepenuhnya memeluknya dan berbalik dari dosa-dosa mereka; mereka hanya memiliki pengetahuan “intelektual” tentang keselamatan. Menurut pandangan ini, pertanyaan sebenarnya bukanlah, “Dapatkah seseorang kehilangan keselamatannya?” tetapi, “Apakah orang itu benar-benar diselamatkan sejak awal?” Titus 1:16 dan Yakobus 2:14 keduanya menyimpulkan bahwa banyak orang “mengatakan” bahwa mereka mengenal Tuhan, dan bahkan mengajak orang lain untuk mengenal Dia, tetapi menyangkal Dia dengan gaya hidup mereka sehari-hari.
Suatu pemikiran yang sempat menghantui saya adalah mengenai hubungan kesehatan jasmani dan keselamatan rohani. Jika kita harus menjaga keselamatan kita, apa yang terjadi jika Alzheimer atau penyakit lain yang melemahkan pikiran muncul dan mulai memutarbalikkan, merusak, dan mencemari pemikiran kita? Apakah semuanya hilang, atau kita disatukan karena kita adalah anak Allah? Pulus menulis:
“Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Roma 8:38-39
Tidak ada yang dapat memisahkan kita dari Tuhan, tetapi kita tidak boleh mengabaikan peringatan keras tentang berbalik dari-Nya. Keselamatan kita dijamin berdasarkan jaminan yang ditemukan dalam Kitab Suci, tetapi kita juga harus “mengerjakan keselamatan kita sendiri dengan takut dan gentar” (Filipi 2:12).
Mereka yang percaya bahwa kita dapat kehilangan keselamatan seharusnya tidak menolak mereka yang percaya pada keselamatan yang kekal. Ungkapan “sekali diselamatkan selalu diselamatkan” sama sekali bukan izin untuk berbuat dosa – itu adalah kepercayaan pada jaminan sepihak dari Tuhan. Tetapi di sisi lain, mereka yang yakin akan keselamatan yang tidak bisa hilang tidak boleh mengejek mereka yang tidak setuju. Mereka harus menunjukkan keyakinan iman mereka dengan cara hidup yang baik, yang membuktikan respons positif mereka terhadap karunia keselamatan yang sudah dikaruniakan Tuhan.
Jadi saya tidak percaya seseorang dapat “kehilangan” keselamatan mereka sendiri. Dari sudut Tuhan, Tuhan yang merupakan sumber keselamatan tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun atau apa pun. Memang benar bahwa tidak ada yang bisa “merebut saya dari tangan Bapa saya”. Saya juga percaya bahwa hanya kasih karunia Tuhan yang bisa menyelamatkan manusia. Pengampunan dosa-dosa saya yang menjembatani kesenjangan untuk berkenan kepada Allah untuk kekekalan hanya bergantung pada karya Kristus yang telah selesai di bukit Kalvari melalui darah-Nya.
Walaupun keselamatan adalah anugerah Tuhan, kita juga memiliki bagian dalam rencana keselamatan-Nya, yaitu tanggung jawab untuk merespons, itulah langkah pertama dari keyakinan yang menyelamatkan jiwa. Dan lebih dari itu, kits memiliki tanggung jawab untuk tetap setia sampai akhir, mengatahkan kehendak saya melalui bimbingan Roh Kudus untuk mengasihi Tuhan dengan sepenuh hati, ditunjukkan dengan ketaatan (Yohanes 14:21), dan untuk tetap dalam persekutuan yang berkesinambungan dengan-Nya.
Keseimbangan kasih karunia Tuhan dan respons manusia tampaknya seperti dua rel kereta yang tidak dapat dipisahkan dalam menuju satu tujuan. Memang, Tuhan 100% berdaulat dalam segala rancangan-Nya, tetapi manusia harus100% bertanggungjawab apa yang dilakukannya. Tuhan dalam kedaulatan-Nya tidak memaksa manusia untuk taat kepada-Nya. Sementara Tuhan tidak akan meninggalkan kita, kita dapat memilih secara sepihak untuk mengakhiri perjanjian kita dengan Dia. Itu terjadi jika kita terus menerus mengabaikan suara Roh Kudus (Efesus 4: 30).
“Jika kita bertekun, kita pun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Dia pun akan menyangkal kita.” 2 Timotius 2: 12
Jika kita telah benar-benar menaruh kepercayaan kita kepada Kristus untuk pengampunan dosa-dosa kita untuk menerima karunia hidup kekal secara cuma-cuma, kita sekarang memiliki tanggung jawab pribadi untuk menaati firman-Nya. Kita tidak dapat secara tidak sengaja atau tiba-tiba “kehilangan” keselamatan kita, tetapi kita dapat menolaknya dengan melalui proses yang berlangsung terus-menerus mengabaikan Tuhan atau menolak untuk menaati-Nya. Seperti Esau, kita dapat menukar hak kesulungan kita sebagai anak Tuhan dengan kenikmatan duniawi. Tuhan tidak akan menceraikan kita, tetapi kita dapat meninggalkan Dia. Dia tidak akan mendiskualifikasi kita, tetapi kita akan mendiskualifikasi diri kita sendiri dengan pemberontakan tanpa iman dan ketidakpercayaan yang jelas, seperti yang ditunjukkan oleh cara kita menjalani hidup di dunia.
Jadi bagaimana kita tahu jika kita pasti diselamatkan? “Barangsiapa berbuat baik, ia berasal dari Allah, tetapi barangsiapa berbuat jahat, ia tidak pernah melihat Allah.” (3 Yohanes 1:11). Begitu pula orang yang mengerti apa yang baik menurut firman Tuhan harus mau melakukannya (Yakobus 4: 17). Semuanya bergantung pada bagaimana kita menyadari adanya interaksi karunia Tuhan yang ajaib dari respons kita. Dan respons kita ini adalah gambaran indah dari cinta yang sedang beraksi. Kita dapat memilih untuk menerima anugerah Tuhan karena kita dicintai dan diinginkan Tuhan. Kita dapat memilih untuk merespons dengan baik jika kita memang mengasihi Tuhan dan berhasrat untuk menjadi hamba-Nya.
Jelas bahwa pertanyaan apakah seseorang dapat kehilangan keselamatannya bukanlah pertanyaan yang mudah dijawab. Itu menyentuh kita pada inti kehidupan Kristen kita, tidak hanya berkenaan dengan kepedulian kita terhadap ketekunan kita sendiri, tetapi juga sehubungan dengan kepedulian kita terhadap keluarga dan teman-teman kita, khususnya mereka yang tampaknya, dari semua penampilan luar, telah membuat pengakuan iman yang sejati. Kita mungkin berpikir bahwa pengakuan percaya mereka terlihat kredibel, kita kemudian memeluk mereka sebagai saudara atau saudari seiman, hanya untuk melihat bahwa mereka menyangkal iman itu dalam keseganan mereka untuk melaksanakan firman Tuhan dalam hidup mereka.
Apa yang bisa kita lakukan, secara praktis, dalam situasi seperti itu? Pertama, kita berdoa untuk mereka dan kemudian, kita menunggu. Kita tidak tahu hasil akhir dari situasi ini, dan saya yakin akan ada kejutan ketika kita sampai di surga. Kit akan terkejut melihat orang-orang di sana yang kita pikir tidak akan ada, dan kita akan terkejut bahwa kita tidak melihat orang-orang di sana yang kita yakini akan ada di sana, karena kita tidak mengetahui isi hati manusia atau jiwa manusia.
Hanya Tuhan yang dapat melihat jiwa seseorang, mengubah, dan memeliharanya. Itu adalah kedaulatan-Nya yang tidak dapat diganggu gugat. Dengan demikian, pengetahuan akan bisa hilang atau tidaknya keselamatan itu bukanlah hal yang utama; tetapi, adalah lebih penting bagi kita untuk hidup sebagai orang-orang yang sudah diselamatkan, orang-orang kudus, selama hidup di dunia. Itu adalah kehendak Tuhan bagi umat-Nya, dan hanya umat-Nya yang diberi kemampuan untuk melaksanakannya.
“Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” 1 Korintus 9: 26-27