“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Kolose 3: 23

Ayat di atas adalah ayat yang cukup dikenal umat Kristen. Mungkin ayat itu bisa ditulis seperti ini: “Perbuatlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan, tetapi janganlah berbuat untuk manusia”.
Perbuatlah dan janganlah. Dua kata yang sering muncul di Alkitab. Mungkin ada orang yang berpikir bahwa kedua kata itu adalah inti kehidupan orang Kristen. Itu memang ada benarnya, sehingga sebagian orang merasa ragu untuk menjadi orang Kristen. Mungkin mereka ingin hidup bebas. Walaupun demikian, hidup orang Kristem bukan hanya didasari oleh dua hal itu saja. Tidak jarang kita mendengar seseorang berkata, “Kekristenan bukanlah tentang daftar hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan tetapi adalah tentang sebuah hubungan yang indah antara Sang Pencipta dan yang diciptakan. Kedengarannya pandangan ini bagus dan memang ada benarnya; tapi ini juga bukan seluruh kebenaran.
Untuk satu hal, berbicara tentang beberapa bentuk umum dari “Kekristenan” bisa menyesatkan. Istilah “hubungan yang indah antara Tuhan dan manusia” ini begitu luas sehingga (dalam beberapa kasus) tidak ada gunanya. Lagi pula, itu bukan istilah yang digunakan Yesus, rasul-rasulnya, atau gereja mula-mula. Ketika mereka merujuk pada kepercayaan umum dan tradisi bersama yang mereka miliki, mereka berbicara tentang “iman” yang secara inheren menyampaikan gagasan tentang hubungan, dan “jalan”, yang menyarankan pendekatan tertentu terhadap kehidupan dalam kebenaran. Iman adalah kunci hidup Kristen.
Pada pihak yang lain, jika orang mengatakan bahwa iman bukanlah tentang daftar hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, faktanya Yesus memerintahkan para pengikutnya untuk melakukan banyak hal dan untuk tidak melakukan hal lain. Sebagai contoh, dalam Khotbah di Bukit saja, ada sekitar 50 kata kerja imperatif (perintah) dalam Alkitab versi Yunani. Perjanjian Baru sendiri memiliki lebih dari 1500 kata sejenis. Jadi iman tidak dapat dipisahkan dari apa ang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Yesus jelas menginstruksikan murid-muridnya tentang bagaimana menjalani hidup yang berbeda dari apa yang dikenal orang Yahudi saat itu. Kebanyakan orang Yahudi waktu itu, misalnya, tidak mau mendoakan mereka yang mengutuk mereka, atau memberi tumpangan kepada orang yang tidak pantas diberi. Yesus mengajarkan apa yang sangat berbeda dengan itu. Cara hidup Yesus bukan hanya edisi yang disempurnakan dari beberapa praktik keagamaan universal, bukan versi yang lebih baru dari versi yang ada. Jalan Yesus itu khas.
Iman kepada Yesus bukan sekadar daftar yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Melakukan “yang harus dilakukan” dan menghindari “yang tidak boleh dilakukan”, dalam beberapa hal, dapat dilakukan tanpa mengandalkan iman. Misalnya, saya mungkin menyimpan daftar yang harus dan tidak boleh dilakukan dengan maksud untuk menerima promosi jabatan. Mungkin ada beberapa unsur iman dalam pengaturan ini, tetapi tidak seperti iman yang kuat yang dianggap penting oleh Yesus dan para pengikut awal-Nya.
Beberapa dari banyak perintah Yesus dapat ditaati, bahkan tanpa iman. Misalnya, sekalipun tidak ada orang yang pernah meminta baju saya, perintah Yesus untuk memberikan baju saya kepada orang yang membutuhkannya tidak pernah menjadi masalah bagi saya. Namun, perintah untuk berhenti khawatir sering mendatangkan masalah bagi saya. Begitu juga perintah untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri, menjaga diri dari kemunafikan, menyingkirkan segala kepahitan, dan melakukan segala sesuatu tanpa mengeluh atau berdebat.
Untuk secara konsisten melakukan hal-hal ini dan, lebih tepatnya, untuk membentuk hati dan pikiran sedemikian rupa sehingga melakukan hal-hal ini menjadi wajar, seseorang harus memiliki keyakinan. Iman semacam ini bukanlah persetujuan mental terhadap suatu doktrin, bahkan doktrin tentang Tuhan, juga bukan keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan bahwa segala sesuatu akan berakhir dengan kebaikan. Bukannya hal-hal ini salah; tetapi bukan itu yang dimaksudkan oleh Yesus dan para pengikut awalnya ketika mereka berbicara tentang hidup dalam iman. Kemampuan untuk menurut perintah Tuhan ini harus datang dari Tuhan.
Ketika mereka berbicara tentang iman, mereka tidak berbicara tentang kepercayaan akan keberadaan Tuhan; setiap orang yang mereka kenal percaya bahwa Tuhan itu ada. Ketika mereka berbicara tentang iman kepada Tuhan, mereka berbicara tentang mempercayai-Nya: mempercayai pengetahuan-Nya dan melakukan apa yang Dia katakan; memercayai komitmen-Nya dan dengan demikian yakin akan bantuan-Nya; mempercayai kasih-Nya dan merasa aman dalam penyertaan-Nya.
Kepercayaan bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah dilselesaikan, seperi mencoret satu tugas yang ada dalam sebuat daftar. Tidak pernah ada titik di mana seseorang dapat menyatakan apa arti imannya dengan selengkapnya. Kepercayaan secara inheren membutuhkan hubungan intim dan harmonis, yang bertumbuh di setiap saat. Dan kepercayaan, jika tidak salah tempat, mengharuskan kita untuk mempercayai kebaikan Tuhan dalam keadaan apa pun. Iman adalah jawaban atas kesetiaan Tuhan. Iman bertumbuh dalam setiap pengalaman yang kita alami, baik itu pengalaman yang baik, maupun apa yang kurang nyaman.
Seseorang hanya dapat melakukan hal-hal yang Yesus perintahkan untuk dilakukan – mengampuni dan berdoa bagi musuh, memberi dengan murah hati, hidup dengan rela berkorban – dengan setiap saat memercayai Yesus adalah jalan, kebenaran dan hidup; dan memercayai Dia sebagai Juruselamat kita. Dan kepercayaan semacam itu hanya ditemukan ketika orang-orang menanggapi undangan Allah untuk masuk ke dalam hubungan dengan-Nya melalui Kristus. Sudahkah Anda mempunyai hubungan sedemikian? Jika memang sudah, Anda tidak akan pernah merasa sulit untuk menaati “Perbuatlah dan Janganlah”.
Kata Yesus kepadanya: ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Yohanes 14:6