“Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.” Mazmur 51: 6

Banyak orang yang berpikir bahwa pertobatan cukup dilakukan sekali saja, yaitu sebelum menjadi orang Kristen. Itu tidak benar. Pertobatan Kristiani yang sejati melibatkan keinsafan yang tulus akan dosa, penyesalan atas pelanggaran terhadap Allah, berpaling dari cara hidup yang berdosa, dan berpaling ke cara hidup yang memuliakan Allah. Pertobatan sejati bukan sekadar “memikirkan kembali” hubungan seseorang dengan dosa dan Allah. Pertobatan pertama-tama harus berakar pada kesadaran betapa berdosanya suatu tindakan, emosi, kepercayaan, atau cara hidup orang yang bersangkutan. Kemudian, seseorang harus berduka atas betapa menyinggung dan menyedihkannya dosanya bagi Tuhan, bukan hanya karena takut akan pembalasan Tuhan atas dosanya. Dengan kata lain, pertobatan harus berakar pada nilai yang tinggi menurut standar Tuhan, bukan nilai menurut diri sendiri. Hanya dengan begitu berpaling dari dosa menuju ke kekudusan dapat benar-benar disebut pertobatan sejati.
Kegagalan untuk bertobat dengan demikian merupakan bentuk penyembahan berhala, karena kepercayaan orang yang berdosa pada diri sendiri bahwa semua dosanya bukanlah hal yang memengaruhi jamnan keselamatan Tuhan. Penolakan untuk bertobat berarti meninggikan jiwa kita sendiri di atas kemuliaan Tuhan, dan menolak kebenaran bahwa ketika kita bertobat, itu mengarah pada pengampunan dosa, penghapusan hukuman ilahi, dan pemulihan persekutuan pengalaman kita dengan Tuhan. Bertobat adalah kata kerja aktif yang menunjuk kepada respons kita terhadap tuntutan kesucian Tuhan, Bertobat bukanlah sekadar refleksi pekerjaan karunia penyelamatan Tuhan atas diri kita.
Pertobatan alkitabiah adalah konsep yang mudah disalahpahami dan diterapkan secara keliru, dan karena itu membutuhkan pemeriksaan yang cermat. Kesalahan utama banyak orang adalah mendasarkan pemahaman mereka tentang pertobatan pada bentuk akar kata Yunani. Kata kerja Yunani metanoeō (bertobat) dibangun di atas kata depan meta (“dengan, setelah”) dan kata kerja noeō (“memahami, berpikir”). Beberapa orang kemudian menarik kesimpulan bahwa satu-satunya pengertian di mana seorang Kristen dituntut untuk bertobat adalah untuk mengubah pikirannya atau memikirkan kembali dosa dan hubungannya dengan Allah. Suatu refleksi dari sinar karunia penyelamatan Allah. Namun makna kata bertobat tidak ditentukan dengan cara ini, melainkan pada penggunaan dan konteks. Perubahan pikiran atau perspektif tidak ada nilainya jika tidak disertai dengan perubahan arah, perubahan hidup dan tindakan.
Pertobatan sejati dimulai, tetapi tidak berakhir, dengan keinsafan hati akan dosa. Itu dimulai dengan pengakuan yang tegas dengan hati yang hancur karena kita telah menentang Tuhan dengan merangkul apa yang Dia benci dan benci, atau setidaknya, acuh tak acuh terhadap apa yang Dia perintahkan. Oleh karena itu, pertobatan mencakup hal mengetahui di dalam hati kita: “Ini salah. Saya telah berdosa. Tuhan berduka karenanya.” Antitesis dari pengakuan adalah rasionalisasi, upaya egois untuk membenarkan kelemahan moral seseorang dengan sejumlah alasan: “Saya adalah korban. Jika Anda tahu apa yang telah saya lalui dan betapa buruknya orang memperlakukan saya, Anda akan memberi saya sedikit kelonggaran. Jika Anda tahu apa yang sudah Tuhan tetapkan dalam hidup saya, Anda akan mengerti bahwa semua yang terjadi dalam hidup saya adalah kehendak-Nya”.
Ketika seseorang benar-benar bertobat, ada kesadaran bahwa dosa yang dilakukan, apa pun sifatnya, pada akhirnya hanya melawan Tuhan. Dalam ayat di atas Daud menyatakan, “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.” Meskipun Daud mengambil keuntungan dari Batsyeba secara seksual, bersekongkol untuk membunuh suaminya, yaiu Uria, mempermalukan keluarganya sendiri, dan mengkhianati kepercayaan bangsa Israel, dia memang sudah seharusnya melihat dosanya terhadap Tuhan yang mahasuci. Sebaliknya, walaupun Daud sadar bahwa Allah mahatahu, dia tetap melakukan dosanya. Dia tidak melihat alternatif yang lain, merasa tidak ada alternatif yang lain, tidak dapat memikirkan pilihan yang lain, tetapi kehadiran-Nya justru dilupakan, kekudusan-Nya dibenci, dan kasih-Nya dicemooh untuk mencapai hasratnya. Daud menjadi begitu rusak karena dia telah memperlakukan Tuhan dengan sangat tidak hormat sehingga dia dibutakan oleh pilihannya terhadap semua aspek atau objek lain dari perilakunya.
Pertobatan adalah lebih dari hal pelepasan emosi secara psikologis, di dalamnya ada perasaan atau rasa penyesalan yang sebenarnya. Jika seseorang tidak benar-benar terluka oleh dosanya, tidak akan ada pertobatan. Pertobatan itu menyakitkan, tetapi itu adalah rasa sakit yang seharusnya. Itu menuntut kehancuran hati (Mazmur. 51:7; Yesaya 57:15) tetapi selalu dengan harapan untuk penyembuhan dan pemulihan dalam kasih Kristus dan karunia pengampunan-Nya. Jadi, pertobatan lebih dari sekadar perasaan. Emosi bisa cepat berlalu, sedangkan pertobatan sejati membuahkan hasil. Ini menunjukkan perbedaan antara “goncangan” dan “penyesalan”. Goncangan adalah penyesalan atas dosa yang dipicu oleh ketakutan akan diri sendiri: “Aduh! Saya tertangkap basah! Apa yang akan terjadi kepada diri saya?” Penyesalan, di sisi lain, adalah penyesalan atas pelanggaran terhadap kasih Allah dan rasa sakit karena telah mendukakan Roh Kudus. Dengan kata lain, adalah mungkin untuk “bertobat” karena takut akan hukuman atau pembalasan, bukan karena kebencian akan dosa.
Pertobatan alkitabiah juga harus dibedakan dari pertobatan duniawi atau daging. Karena dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang menuntun pada keselamatan, sedangkan penyesalan secara duniawi hanya menghasilkan kematian. Dalam pertobatan sejati harus ada penyangkalan terhadap semua dosa dan langkah-langkah praktis yang aktif diambil untuk menghindari apa pun yang dapat menimbulkan sedihnya Allah. Harus ada tekad yang disengaja untuk berbalik dan menjauh dari semua pengaruh dosa. Jika dalam apa yang disebut “pertobatan”, kita tidak meninggalkan lingkungan tempat dosa kita pertama kali muncul dan dari mana, kemungkinan besar, itu akan terus berkembang, pertobatan kita perlu dicurigai. Dalam pertobatan harus ada reformasi yang sepenuh hati, artinya, tekad yang kuat untuk mengejar kesucian, untuk melakukan apa yang menyenangkan Tuhan.
Ada sejumlah alasan mengapa orang merasa sulit atau tidak perlu untuk bertobat. Misalnya, Iblis dan sistem dunia telah membuat kita mempercayai kebohongan bahwa nilai atau harga kita sebagai manusia bergantung pada sesuatu selain dari apa yang telah dilakukan Kristus bagi kita dan siapa kita di dalam Kristus hanya melalui (contoh: hukum negara, etika pergaulan). Jika kita percaya bahwa orang lain memegang kekuasaan untuk menentukan nilai atau cara hidup kita, kita akan selalu merasa aman jika kita menurut apa yang berlaku di tempat kita tinggal. Selain itu, ada orang Kristen yang terlalu menekankan kedaulatan Tuhan sehingga merasa bahwa Tuhan sudah menetapkan hidup mereka dalam segala hal, termasuk apa yang baik dan jahat. Pada pihak yang lain, ada orang Kristen yang terlalu menekankan sifat mahakasih Allah, sehingga mereka mereka yakin bahwa Tuhan yang memilih mereka adalah Tuhan yang menerima mereka sebagaimana adanya. Jadi kegagalan untuk bertobat adalah bentuk penyembahan berhala. Penolakan untuk bertobat berarti meninggikan kebijaksanaan kita sendiri di atas kehendak Allah bagi kita, yaitu untuk bertobat. Itu adalah menempatkan nilai yang lebih tinggi pada keyakinan kita daripada panggilan Allah untuk kembali ke jalan yang benar dan untuk tidak berbuat dosa yang sama.
Persekutuan kita dengan Kristus selalu bergantung pada pertobatan kita yang tulus dan sepenuh hati dari dosa. Kita hanya bisa benar-benar aman dan terjamin dalam persekutuan kekal kita dengan Kristus, sepenuhnya dan semata-mata karena kasih karunia Allah yang mulia. Tetapi kemampuan kita untuk menikmati buah dari persekutuan itu, kemampuan kita untuk merasakan, merasakan, dan beristirahat dengan damai, sangat dipengaruhi oleh pertobatan kita ketika Roh Kudus menyadarkann kita untuk menghormati dan menaati kehendak Allah yang dinyatakan dalam Alkitab. Dalam beberapa kesempatan Tuhan memanggil ketujuh jemaat di Asia Kecil untuk bertobat. Kepada gereja di Pergamus Yesus menyatakan: “Sebab itu bertobatlah” (Wahyu 2:16a). Dan kepada gereja di Sardis dia berkata: “Karena itu ingatlah, bagaimana engkau telah menerima dan mendengarnya; turutilah itu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:3). Dan kepada gereja di Laodikia: “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:19). Kita tidak dapat menolak kenyataan bahwa sebagai orang Kristen kita masih bisa jatuh dalam dosa, dan karena itu harus mau bertobat.
Pagi ini kita harus sadar bahwa pertobatan yang Yesus sebut, melibatkan tindakan aktif setiap orang Kristen di setiap waktu untuk berhenti dari satu jenis perilaku yang jahat dan merangkul apa yang baik.. Kita menjadi pengikut Kristus karena “jatuh cinta” kepada-Nya. Karena itu, kita tidak boleh meninggalkan cinta pertama kita, tetapi sebaliknya harus melakukan pekerjaan yang kita lakukan pada waktu kita baru menjadi orang percaya. Itu adalah pertobatan sejati. Bertobat bukanlah hidup yang hanya didominasi oleh kesadaran akan dosa. Tetapi, kita harus sadar akan dosa kita secara tepat, sehingga realitas kasih karunia Allah yang mengampuni, memperbaharui, dan menyegarkan dapat mengendalikan, memberi energi dan memberdayakan kehidupan kita sehari-hari.