“Dahulu, ketika kamu tidak mengenal Allah, kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakekatnya bukan Allah. Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya?” Galatia 4: 8-9

Sebagian orang Kristen membayangkan karakter Allah adalah mirip dengan karakter manusia. Bukankah manusia diciptakan menurut gambat-Nya? Allah tentunya bisa marah, senang, cemburu dan sebagainya. Itu ada benarnya, sekalipun harus dimengerti dalam konteks keilahian Allah. Allah yang mempunyai kemiripan dengan manusia adalah Oknum Ilahi yang mahasuci, mahakasih, mahatahu, mahabenar, mahabijaksana dan mahakuasa. Karena itu, dalam semua reaksi-Nya atas perbuatan manusia, Allah tidak mungkin berdosa atau membuat kesalahan.
Bagaimana dengan rasa kecewa? Dapatkan Tuhan merasa kcewa atas hidup manusia? Rasa kecewa adalah suatu perasaan yang menyesali terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan. Bagaimana Tuhhan bisa merasa kecewa jika Ia tahu semua yang akan terjadi, dan Ia tahu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa? Bagaimana Ia bisa menyesali apa yang diperbuat-Nya? Bukankah Ia adalah Tuhan yang tidak dapat membuat kekeliruan?
Pada pihak yang lain, bukankah Tuhan yang mendatangkan banjir di zaman Nuh, karena Ia merasa menyesali kelakuan manusia dan marah atas kedurhakaan manusia? Bahkan Ia juga yang dalam kekecewaan-Nya dan kemarahan-Nya sudah membiarkan Anak-Nya untuk mati di kayu salib?
Satu hal yang penting disadari bahwa dalam kemarahan-Nya, Allah tidak bisa membuat kesalahan karena Ia adalah Tuhan menetapkan segala apa yang ada di alam semesta. Semua yang terjadi adalah sesuai dengan rencana-Nya, dan Ia tidak terikat oleh hukum yang dibuat-Nya untuk manusia dan alam semesta. Walaupun demikian, Tuhan dalam kemarahan-Nya juga tidak melampiaskan muka-Nya tanpa alasan; lebih dari itu Ia selalu mempertimbangkan semua keputusan-Nya dengan tidak menanggalkan kasih-Nya yang amat besar kepada mereka yang beriman kepada-Nya.
Bagaimana pula dengan rasa kecewa Tuhan yang sering muncul dalam Alkitab? Rasa kecewa yang ditunjukkan oleh rasul Paulus dalam ayat di atas mungikin dapat menggambarkan rasa kecewa Tuhan kepada umat-Nya yang sesudah mengenal Allah, atau lebih tepat, sesudah dikenal Allah, mereka kemudian berbalik lagi kepada hal-hal duniawi dan menghambakan diri mereka kepada apa yang tidak berguna. Tetapi, rasa kecewa Tuhan kepada orang yang dipilih-Nya adalah bukan rasa kecewa atas umat-Nya, tetapi rasa kecewa untuk umat-Nya. Rasa kecewa yang membuat Dia mengingatkan mereka atas dosa dan kekeliruan mereka. Kekecwaan Allah kepada umat-Nya selalu didasarkan oleh kasih-Nya yang ingin membimbing mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Banyak orang Kristen yang yakin sudah dikenal Tuhan dan dijadikan-Nya sebagai umat-Nya, tidak merasakan rasa kecewa Tuhan untuk mereka, karena mereka tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan. Hati mereka tidak lagi peka. Mereka menyibukkan diri dengan hal-hal duniawi, termasuk hal-hal yang nampaknya rohani, tetapi sebenarnya bukan untuk kemuliaan Tuhan. Mereka tidak sadar bahwa Tuhan merasa kecewa, merasa sedih untuk mereka.
Hari ini marilah kita renungkan hidup kita saat ini. Mungkin kekeliruan seperti apa yang dilakukan jemaat di Galatia juga yang kita buat saat ini. Tuhan merasa sedih bukan atas hidup kita, tetapi merasa sedih untuk kita. Ia tidak henti- hentinya mengingatkan kita untuk kembali kepada-Nya. Ia menunggu kita untuk kembali mementingkan apa yang difirmankan-Nya untuk dilaksanakan dalam hidup kita. Tuhan ingin kita hidup sebagai umat yang memancarkan terang-Nya ke seluruh pelosok dmia. Keputusan ada di tangan kita, apakah kita mau menurut bimbingan Roh Kudus dan berbalik kepada-Nya.