Saya menulis artkel ini, yang saya sadur secara bebas dari tulisan Pdt. Ronald Hanko dari gereja Covenant Protestant Reformed Church, karena ada satu kejadian yang tidak saya duga. Menyambut hari Paskah 2023, baru saja saya mendapat komentar dari seorang teman bahwa penekanan saya akan perlunya manusia untuk bertobat (temasuk orang Kristen) dan untuk hidup baik menurut Firman Tuhan adalah pelaksanaan kehendak bebas yang bersifat kedagingan. Saya terkejut karena baru sekali ini saya mendengar komentar semacam ini, tetapi saya tidak heran bahwa memang ada orang Kristen yang berpandangan sedemikian.
Saya akan menjelaskan, pertama, bahwa ada yang namanya hiper-Calvinisme, meskipun beberapa orang akan menyangkalnya. Mereka yang menyangkalnya biasanya adalah orang yang memang bertendensi hiper-Calvinis. Secara historis, nama tersebut telah diterapkan kepada mereka yang menyangkal bahwa perintah Injil untuk bertobat dan percaya harus diberitakan kepada semua orang.
Seorang hiper-Calvinis (secara historis dan doktrin) adalah seseorang yang, karena percaya bahwa tidak semua orang bisa dipilih dan ditebus Tuhan, tidak akan memerintahkan semua orang yang mendengar Injil untuk bertobat dan percaya. Dia adalah seseorang yang memulai dari premis yang benar tetapi menarik kesimpulan yang salah—yang tidak percaya bahwa “Allah memerintahkan semua orang di mana pun untuk bertobat” (Kis. 17:30).
Maka, seorang hiper-Calvinis sejati adalah orang yang percaya dengan benar pada kedaulatan Allah, predestinasi ganda dan khususnya penebusan Kristus, tetapi yang menyangkal kasih universal Allah dan kehendak Allah untuk menyelamatkan semua manusia. Namun dia menyimpulkan dengan salah bahwa karena Allah telah menentukan siapa yang akan diselamatkan, Ia mengutus Kristus hanya untuk mereka, dan memberikan kepada mereka keselamatan sebagai pemberian cuma-Cuma. Oleh karena itu hanya orang pilihan yang harus diperintahkan untuk bertobat dan percaya kepada pemberitaan Injil.
Ini, saya percaya, adalah kesalahan serius. Itu adalah kesalahan yang secara efektif menghancurkan pemberitaan Injil dan penginjilan—sebuah kesalahan yang harus disingkapkan dan dihindari. Doktrin semacam ini juga membuat orang Kristen kurang bersemangat untuk menginjil secara bebas, dan juga membuat mereka membenci orang yang tidak sefaham dengan mereka.
Inti dari hyper-Calvinisme, oleh karena itu, adalah penolakan terhadap apa yang disebut “kewajiban iman” (duty faith) dan “kewajiban pertobatan” (duty repentance) yaitu, bahwa itu adalah tugas dan kewajiban yang sungguh-sungguh dari semua orang yang mendengar Injil untuk bertobat dan percaya. Hyper-Calvinisme menyimpulkan bahwa, karena manusia tersesat dalam dosa dan tidak mampu dari diri mereka sendiri untuk bertobat dan percaya, adalah suatu kesalahan untuk mengajak mereka untuk melakukannya. Ayakan seperti itu akan menyiratkan bahwa orang dapat mempunyai kemampuan untuk bertobat dan percaya, dan itu menandakan adanya kehendak manusia di luar kehendak Tuhan.
Maka, kaum hiper-Calvinis membuat kesalahan yang sama seperti mereka yang sangat menekankan kehendak bebas, hanya saja kaum hiper-Clavinis menarik kesimpulan yang berbeda. Keduanya berpikir bahwa untuk memerintahkan atau menuntut pertobatan dan iman dari orang berdosa yang mati harus menyiratkan bahwa orang berdosa tersebut tidak mati dan memiliki kemampuan untuk bertobat dan percaya. Mereka yang menekankan kehendak bebas mengatakan, “Mengajak orang untuk bertobat harus menyiratkan kemampuan, oleh karena itu, orang memiliki kemampuan.” Seorang hyper-Calvinis berkata, “Mengajak orang untuk bertobat harus menyiratkan kemampuan, oleh karena itu, kami tidak akan memerintah siapa pun kecuali yang terpilih.”
Ini berarti bahwa sementara seorang hiper-Calvinis sejati akan mengkhotbahkan “fakta-fakta” ayat Alkitab kepada semua orang yang mau mendengar (dan bersikeras bahwa dia memberitakan Injil), dia tidak akan mengajak audiensi untuk bertobat dan percaya. Perintah-perintah itu, menurut mereka, harus dikhotbahkan hanya kepada mereka yang menunjukkan bukti sebagai “orang-orang berdosa yang berakal sehat”, yaitu orang-orang berdosa yang telah diinsafkan oleh pekerjaan Roh Kudus.
Saya menolak gagasan ini karena berbagai alasan. Pertama, sulit untuk membayangkan bagaimana seseorang, tanpa ilham ilahi, dapat yakin bahwa dia berkhotbah hanya kepada “orang-orang berdosa yang berakal sehat” untuk membawa perintah Injil dengan percaya diri. Oleh karena itu, pada kenyataannya, perintah Injil jarang, jika pernah, terdengar dalam khotbah hiper-Calvinis. Khotbah-khotbah mereka hanya seputar kedaulatan Tuhan dalam memilih orang yang dikehendaki-Nya, dan tentang Tuhan yang tidak perlu memakai alasan untuk menghukum orang yang tidak dipilih-Nya.
Kedua, hyper-Calvinisme mengubah perintah bertobat dan percaya menjadi perintah untuk terus bertobat dan percaya, atau bertekun dalam bertobat dan percaya. Yang disebut “orang-orang berdosa yang berakal sehat”, satu-satunya yang dapat dipanggil untuk bertobat dan percaya adalah mereka yang sudah mulai melakukannya melalui pekerjaan rahasia Roh Kudus. Iman yang diminta, dalam hal ini, bukanlah iman yang menyelamatkan dalam arti kata yang paling benar dan terdalam, yaitu, iman yang membawa seseorang ke dalam persekutuan dengan Kristus, yang membenarkan dia dan memberinya keselamatan, tetapi hanya iman yang terus terwujud sendiri dalam buah jaminan dan harapannya.
Dalam hubungan inilah hiper-Calvinis sejati biasanya mengajarkan bahwa orang tersebut dibenarkan sepenuhnya dalam kekekalan dan bahwa pembenaran oleh iman hanya melibatkan jaminan pembenaran. Jadi, iman yang diminta dalam Injil pada kenyataannya tidak membenarkan kita di hadapan Allah tetapi hanya menjamin pembenaran yang telah terjadi. Peran dan tanggung jawab manusia dalam kehidupan Kristen dianggap tidak ada. Ini sebabnya di zaman ini banyak kita temui orang Kristen “kedagingan” yang hidupnya tidak nampak seperti orang yang sudah beriman.
Dalam hubungan ini , tidaklah mengherankan bahwa para hyper-Calvinis juga dituduh, dan itu memang sepatutnya, menganut faham antinomianisme (melawan hukum atau perintah) mengenai iman. Mereka tidak menganggap serius perintah untuk bertobat dan beriman, justru karena panggilan untuk beriman bagi mereka hanyalah panggilan untuk yakin akan imannya. Mereka juga mengabaikan perlunya untuk hidup baik sesuai dengan firman Tuhan. Ini adalah pandangan sesat yang sangat berbahaya, karena bisa menghancurkan norma-norma dan etika-etika hidup baik orang Kristen yang seharusnya ditaati orang percaya untuk membawa kemuliaan bagi Tuhan. Atas dasar inilah saya dengan tegas menolak pandangan hiper-Calvinisme.
Penyangkalan terhadap “kewajiban iman”, “kewajiban pertobatan” dan “kewajiban memilih hidup baik” ini jelas bertentangan dengan Kitab Suci. Kitab Suci mengatakan dalam Kisah Para Rasul 17:30 bahwa “Allah sekarang memerintahkan semua orang di mana saja untuk bertobat.” Yohanes Pembaptis dalam khotbahnya bahkan memanggil orang Farisi dan Saduki yang tidak percaya untuk bertobat (Mat. 3:8; Luk. 3:8). Yesus, juga, memanggil semua orang untuk bertobat dalam pemberitaan-Nya (Mat. 4:17) dan mencela kota-kota Galilea karena mereka tidak bertobat (Mat. 11:20). Ketika Dia mengutus 70 orang, Dia juga mengutus mereka kepada mereka yang menolak Injil dan bahkan memperingatkan mereka tentang penolakan ini (Markus 6:10-11), namun kita membaca bahwa mereka pergi dan memberitakan bahwa manusia harus bertobat (ayat 12).
Juga tidak ada bukti bahwa ketika Petrus, di bait suci setelah penyembuhan orang lumpuh, berkhotbah “bertobatlah dan bertobatlah” (Kis. 3:19), bahwa dia berkhotbah hanya kepada “orang-orang berdosa yang berakal sehat.” Tentu saja, Simon si tukang sihir bukanlah “orang berdosa yang bijaksana,” ketika Petrus berkata kepadanya, “Karena itu bertobatlah dari kejahatan ini, dan berdoalah kepada Tuhan, jika mungkin pikiran hatimu dapat diampuni” (Kis. 8:22).
Beberapa perikop yang telah dikutip (Kis. 3:19; 8:22) juga menyiratkan bahwa Injil menuntut iman dari semua orang yang mendengarnya. Iman adalah bagian dari pertobatan dan seseorang tidak dapat berdoa kepada Allah memohon pengampunan tanpa juga berdoa dengan iman. Demikian pula, tidak mungkin Yesus mengutuk orang Farisi karena tidak percaya, jika mereka tidak dituntut untuk percaya (Mat. 21:25; Luk. 22:67; Yoh. 10:25-26).
Hiper-Calvinis menyiasati ayat-ayat ini dengan berbicara tentang berbagai jenis pertobatan dan iman. Dia berbicara tentang “pertobatan Yahudi”, “pertobatan reformasi”, “pertobatan tidak langsung”, “pertobatan kolektif”, dll., dan mengklaim bahwa Kitab Suci juga menyerukan berbagai jenis iman. Jadi mereka bersikeras bahwa banyak dari ayat-ayat yang telah kita rujuk hanya untuk jenis iman dan pertobatan seperti itu, tetapi bukan untuk menyelamatkan pertobatan dan iman.
Saya tidak menyangkal, tentu saja, bahwa Kitab Suci berbicara tentang “iman” dan “pertobatan” yang tidak menyelamatkan (Kis. 8:13; II Kor. 7:10; Yakobus 2:19; Ibr. 12:17). Tapi ini, seperti yang kita tahu, hanyalah kemunafikan, dan tidak disukai Tuhan. Maka, mereka tidak mungkin menjadi sesuatu yang Tuhan minta. Bagaimana mungkin Allah, yang tidak berdusta, berbicara melalui Injil, memanggil manusia kepada pertobatan atau iman yang tidak tulus dan menyelamatkan? Tidak ada bukti sedikit pun di dalam Kitab Suci bahwa Dia juga melakukannya.
Oleh karena itu, kita harus percaya bahwa Firman Tuhan dalam Kisah Para Rasul 17:30 harus diperhatikan dengan serius oleh mereka yang memberitakan Injil. Perintah untuk bertobat, percaya dan taat kepada Tuhan adalah bagian integral dari Injil, tidak hanya menyangkut umat pilihan Allah tetapi juga menyangkut semua orang. Semua yang datang mendengarkan khotbah HARUS mendengar perintah itu! Tidak hanya sesuai dengan kehendak Allah bahwa itu diberitakan kepada semua orang tanpa pandang bulu tetapi itu perlu sejauh menyangkut Injil itu sendiri. Pertobatan dan ketaatan adalah sebuat paket yang diharuskan Tuhan. Menyangkal hal ini berarti melucuti Injil dari kekuatannya, dan menjadikannya pertunjukan sandiwara saja.
“Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat.” Kisah Para Rasul 17:30