Apakah Anda seorang humanis?

“Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan! Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk! Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” Roma 12:15

Ayat di atas bunyinya agak menggelitik. Apakah pesan Paulus ke jemaat di Roma itu realistis dan praktikal? Dapatkah manusia mengasihi sesamanya seperti ia mengasihi dirinya sendiri? Sekalipun hal mengasihi adalah salah satu perintah Tuhan Yesus yang utama kepada umat-Nya, sebagian orang Kristen percaya bahwa itu tidak mungkin. Malahan sebagian orang Kristen dengan sinis menganggap bahwa kebanyakan orang yang terlihat penuh kasih sebenarnya hanya “show-off” atau pamer saja, seperti apa yang diperlihatkan oleh orang Farisi. Pandangan semacam ini mungkin terjadi ketika mereka lupa bahwa adanya perintah Tuhan tentunya menunjukkan bahwa umat Kristen dapat, walaupun mungkin tidak sempurna, untuk melakukannya karena adanya Roh Kudus yang membimbingnya. Ini adalah dasar dari humanisme Kristen.

Alkitab memang penuh dengan ayat-ayat yang menyangkut humanisme, tetapi sebagian orang Kristen menolak mentah-mentah prinsip-prinsip humanisme. Mengapa begitu? Mungkin karena mereka tidak menyadari adanya perbedaan antara humanisme sekuler dan humanisme Kristen. Sampai sekarang istilah humanisme Kristen telah digunakan untuk merujuk pada berbagai pandangan, beberapa di antaranya lebih alkitabiah daripada yang lain. Secara umum, humanisme adalah sistem pemikiran yang berpusat pada nilai, potensi, dan nilai kemanusiaan; humanisme berkaitan dengan kebutuhan dan kesejahteraan umat manusia, menekankan nilai intrinsik individu, dan melihat manusia sebagai agen yang bisa mengambil keputusan secara rasional dan moral mengenai apa yang ada dalam alam semesta (bukan saja mannusia, tetapi juga flora dan fauna). Sejauh mana sudut pandang yang luas ini diintegrasikan dengan kepercayaan Kristen menentukan dengan tepat seberapa alkitabiah humanisme Kristen itu.

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ”Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” Kejadian 1:28

Ada berbagai jenis humanisme, dan ada baiknya mengetahui perbedaan di antara mereka. Humanisme klasik, yang dikaitkan dengan Renaisans, menekankan estetika, kebebasan, dan studi tentang “humaniora” (sastra, seni, filsafat, dan bahasa klasik Yunani dan Latin). Humanisme sekuler menekankan potensi manusia dan pemenuhan diri sampai mengesampingkan semua kebutuhan akan Tuhan; itu adalah filosofi naturalistik yang didasarkan pada akal, sains, dan pemikiran tentang tujuan dan cara. Pada pihak yang lain, humanisme Kristen mengajarkan bahwa kebebasan, keadilan sosial, hati nurani individu, dan kebebasan intelektual sesuai dengan prinsip-prinsip Kristen, dan bahwa Alkitab sendiri menekankan pengudusan manusia—berdasarkan keselamatan Allah di dalam Kristus dan tunduk pada kendali kedaulatan Allah atas alam semesta (lihat pengakuan Westminster Bab 9 Poin 4).

Sementara motivasi utama dalam kekristenan adalah untuk menyenangkan Tuhan, tidak semua orang Kristen modern melihatnya seperti itu. Saat ini semakin banyak yang setuju dengan kaum humanis bahwa melayani umat manusia harus menjadi faktor pendorong utama. Di dunia, kita melihat adanya gereja-gereja tertentu yang sangat aktif dalam bidang sosial seperti: panti asuhan, sekolah dan universitas, pendidikan dan penampilan musik klasik, pelayanan kesehatan masyarakat dan rumah sakit dan sebagainya. Tidak dapat dihindari, banyak orang Kristen yang kemudian terlalu menekankan nilai intrinsik individu, dan melihat manusia sebagai agen otonom, rasional, dan moral yang tidak perlu bergantung pada kuasa dan anugerah Tuhan. Adanya humanisme dengan demikian juga bisa mengaburkan adanya perbedaan antara umat Kristen dan mereka yang tidak mengenal Tuhan.

Humanisme Kristen mewakili penyatuan filosofis Kekristenan dan prinsip-prinsip humanis klasik. Humanisme Kristen, seperti humanisme klasik, mengejar nalar, penyelidikan bebas, pemisahan gereja dan negara, dan cita-cita kebebasan. Humanis Kristen berkomitmen pada penyelidikan dan pengembangan serta penggunaan sains dan teknologi. Humanisme Kristen mengatakan bahwa semua kemajuan dalam pengetahuan, sains, dan kebebasan individu adalah dari Tuhan, dan harus digunakan untuk melayani umat manusia demi kemuliaan Tuhan. Tidak seperti rekan sekuler mereka, humanis Kristen menekankan perlunya menerapkan prinsip-prinsip Kristen dalam setiap bidang kehidupan, publik dan pribadi.

Humanisme Kristen berpendapat bahwa manusia memiliki martabat dan nilai karena manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:27). Sejauh mana manusia adalah agen yang otonom, rasional, dan bermoral itu sendiri merupakan pencerminan dari keberadaan mereka yang diciptakan sebagai Imago Dei (gambar Allah). Nilai manusia diasumsikan di banyak tempat dalam Kitab Suci: dalam inkarnasi Yesus (Yohanes 1:14), belas kasihan-Nya kepada orang-orang (Matius 9:36), perintah-Nya untuk “mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri” (Markus 12:31), dan Perumpamaannya tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:30–37). Yesus adalah seorang humanis sejati selama hidup-Nya di dunia, yang membedakan tugas-Nya untuk menyelamatkan mereka yang percaya dari belas kasihan-Nya kepada mereka yang berdosa.

Kaum humanis Kristen memahami bahwa semua harta hikmat dan pengetahuan tersembunyi di dalam Kristus (Kolose 2:3) dan berusaha untuk bertumbuh menjadi pengetahuan penuh tentang segala hal yang baik untuk pelayanan Kristus (Filipi 1:9; 4:6; bandingkan Kolose 1 :9). Tidak seperti humanis sekuler yang menolak gagasan tentang kebenaran yang diwahyukan, humanis Kristen berpegang pada Firman Tuhan sebagai standar untuk menguji kualitas segala sesuatu.

Humanis Kristen menghargai setiap manusia tetapi juga mengakui efek kejatuhan manusia (1 Korintus 1:18-25) dan adanya sifat berdosa di setiap hati manusia (Yeremia 17:9). Humanisme Kristiani mengatakan bahwa manusia bisa mengembangkan potensinya hanya ketika dia masuk ke dalam hubungan yang baru dengan Kristus. Saat diselamatkan, ia menjadi ciptaan baru, manusia surgawi, dan dapat mengalami pertumbuhan di setiap bidang kehidupan (2 Korintus 5:17). Tanpa kelahiran baru, mustahil seseorang bisa benar-benar mengasihi sesamanya dan juga mengasihi Tuhan. Perbuatan baik apa pun yang dilakukan manusia duniawi tidak akan membawa kemuliaan Tuhan; padahal manusia diciptakan untuk memuliakan Sang Pencipta.

Humanisme Kristen mengatakan bahwa setiap usaha dan pencapaian manusia harus berpusat pada Kristus. Segala sesuatu harus dilakukan untuk kemuliaan Tuhan dan bukan untuk kesombongan atau promosi diri (1 Korintus 10:31). Kita harus berusaha untuk melakukan yang terbaik secara fisik, mental, dan rohani dalam segala hal yang Tuhan inginkan. Humanis Kristen percaya ini termasuk kehidupan intelektual, kehidupan artistik, kehidupan rumah tangga, kehidupan ekonomi, politik, hubungan ras, hak asasi, masalah lingkungan dan lain-lain.

Humanisme Kristen percaya bahwa tidak hanya gereja yang harus secara aktif terlibat dalam kehidupan sosial dan budaya, tetapi juga percaya bahwa setiap orang Kristen harus menjadi suara yang menegaskan nilai dan martabat kemanusiaan sambil bertahan untuk melawan semua pengaruh yang tidak manusiawi di dunia. Ini adalah bagian dari mandat budaya yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya. Tokoh-tokoh Kristen seperti Agustinus, Anselmus, Aquinas, dan Calvin adalah penyokong humanisme Kristen, meskipun mereka tidak memakai istilah demikian pada saat itu. Saat ini, istilah humanisme Kristen digunakan untuk menggambarkan berbagai sudut pandang dari banyak penulis Kristen seperti Fyodor Dostoevsky, G. K. Chesterton, C. S. Lewis, J. R. R. Tolkien, dan Alexander Solzhenitsyn.

Humanisme Kristen adalah alkitabiah sejauh ia berpegang pada pandangan alkitabiah tentang manusia—agen moral yang bertanggung jawab untuk memelihara apa yang ada di dunia, yang sudah diciptakan menurut gambar Allah tetapi jatuh ke dalam dosa. Humanisme Kristen menjadi semakin kurang Kristen jika semakin berkompromi dengan humanisme sekuler, yang mempromosikan kemanusiaan dengan usaha sendiri. Ini adalah kenyataan, tetapi tidak seharusnya membuat kita anti humanisme Kristen atau mengabaikan adanya humanisme yang berlandaskan Alkitab, yang menyadari ketergantungan manusia kepada Tuhan.

Pagi ini kita belajar bahwa humanisme sekuler adalah bagaikan upaya untuk mengatasi kutukan Babel yang membagi umat manusia menjadi massa suku-suku yang bertikai yang tertutup rapat satu sama lain karena saling tidak dapat memahami. Jika ini hanya berarti bahwa humanisme berusaha untuk membangun kembali menara Babel – sebuah kota manusia yang didirikan di atas kesombongan dan keinginan diri sendiri dalam ketidaktahuan dan dosa yang merupakan penghinaan terhadap Tuhan – maka tidak diragukan lagi bahwa humanisme sedemikian adalah anti-Kristen. Tapi ini bukan satu-satunya jenis humanisme.

Humanisme Kristen yang benar tidak berarti mengabaikan firman Tuhan demi kebutuhan sesama manusia yang berbeda latar belakang dan cara hidupnya. Humanisme Kristen tidak akan melupakan bahwa setiap orang adalah berdosa, dan masing–masing harus bertanggung jawab secara pribadi. Walaupun demikian, humanisme Kristen memandang bahwa kebutuhan hidup setiap manusia di dunia pada hakikatnya adalah sama dan Tuhan adalah sumber kehidupan manusia.

Karena orang Kristen membutuhkan rahmat Tuhan untuk penyempurnaannya sendiri, maka humanisme Kristen adalah sarana dan persiapan bagi orang percaya untuk menuju kearah kesempurnaan rohani di surga (baca Pengakuan Westminster Bab 9 Poin 5). Jadi humanisme Kristen sangat diperlukan dalam hidup orang Kristen seperti halnya etika Kristen dan sosiologi Kristen. Humanisme dan Ketuhanan saling melengkapi satu sama lain dalam tatanan budaya, sebagaimana alam semesta dan pemeliharaan Tuhan dalam tatanan keberadaan. Humanisme Kristen juga menyokong pelaksanaan Amanat Agung Tuhan Yesus (Matius 28:19-20).

Pada akhirnya, kita harus ingat bahwa kekristenan tidak terikat dengan ras atau budaya tertentu, dan karena itu itu humanisme Kristen tidak seharusnya membedakan pelayanan kita kepada orang Kristen maupun non-Kristen, atau memisahkan “orang pilihan” dari “bukan pilihan”, karena Tuhan mengasihi setiap orang. Orang hunanis belum tentu Kristen, tapi orang Kristen seharusnya humanis. Semoga Anda mau ikut aktif dalam melaksanakan prinsip-prinsip keadilan sosial dan humanisme berdasarkan Alkitab untuk memuliakan nama Tuhan di dunia.

“Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Matius 5:45

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s