Menghindari fatalisme yang tersamar

“Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya.” Yeremia 10:23

Yeremia menubuatkan bagaimana bangsa Israel akan tercerai berai dan menyaksikan kehancuran yang mengerikan dari bait suci dan kehancuran kota Yerusalem yang dicintainya. Dia mengerti bahwa umat Tuhan tidak memiliki alasan untuk berbuat dosa dan status istimewa mereka sebagai umat pilihan Tuhan tidak bisa membebaskan mereka dari tongkat koreksi-Nya. Dan meskipun dia meratapi penghakiman yang akan datang, Yeremia berdoa memohon belas kasihan Tuhan atas umatnya.

Perjanjian Lama mencatat penolakan Israel terhadap Bapa, Injil mendokumentasikan penolakan Israel terhadap Putra, sedangkan pasal-pasal awal Kisah Para Rasul mencatat penolakan Israel terhadap Roh, namun Allah dalam rahmat-Nya mencurahkan kasih karunia-Nya untuk suatu masa pada Gereja dan pada waktunya akan memulihkan bangsa Israel-Nya yang bersalah kembali kepada diri-Nya sendiri.

Tuhan adalah penulis dan penyelesai sejarah (dan iman kita) dan meskipun kita memiliki kebebasan untuk membuat pilihan kita sendiri yang dapat mengakibatkan kesulitan yang dipaksakan sendiri, namun Tuhanlah yang menentukan jalan umat manusia dan Tuhan yang mengarahkan langkah anak-anak-Nya pada saat-saat yang tepat. Dialah yang telah menggerakkan rencana dan tujuan bagi bangsa-bangsa di dunia dan Dialah yang akan mengarahkan hidup kita untuk memenuhi rencana dan tujuan akhir-Nya, demi keuntungan kita dan kemuliaan-Nya.

Kita harus mengakui bahwa jalan manusia bukanlah bergantung pada dirinya sendiri. Bukan pada manusia yang berjalan sendirian untuk mengarahkan langkahnya, dan kita juga tidak bisa memanipulasi kehendak Tuhan, tetapi percaya kepada-Nya dalam segala hal. Tetapi, apakah ini bukan fatalisme?

Istilah “fatalisme” dapat mengacu pada salah satu gagasan berikut:

  • Yang pertama, fatalisme diartikan sebagai pandangan apa pun yang menyatakan bahwa manusia tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain dari apa yang sebenarnya mereka lakukan. Termasuk di dalamnya adalah keyakinan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi masa depan atau hasil dari tindakannya sendiri. Keyakinan itu berarti bahwa peristiwa ditentukan oleh takdir yang berada di luar kendali manusia. Salah satu pandangan tersebut adalah fatalisme teologis, yang menyatakan bahwa kehendak bebas tidak sesuai dengan keberadaan Tuhan yang mahatahu, yang menentukan sebelumnya semua kejadian, besar ataupun kecil, di masa depan. Ini adalah determinisme teologis.
  • Pandangan kedua adalah fatalisme logis, yang merupakan kumpulan proposisi (pernyataan) yang benar tentang apa yang akan terjadi, dan ini benar terlepas dari kapan itu terjadi.
  • Pandangan ketiga adalah determinisme kausal. Determinisme kausal (sering disebut “determinisme”) biasanya diartikan secara berbeda dari fatalisme, dengan alasan bahwa agar sustu sistem terjadi perlu adanya penentuan setiap keadaan sebelumnya, dan bukan hanya keadaan akhir dari suatu sistem yang sudah ditentukan sebelumnya. Secara umum, reaksi yang sering terjadi terhadap pastinya suatu peristiwa di masa depan adalah penerimaan atau pengunduran diri, bukan penolakan. Pandangan ini adalah apa yang diartikan dalam kata “fatalisme” sehari-hari, dan serupa dengan kekalahan.

Apakah Anda percaya bahwa Tuhan adalah berdaulat dan kehendak-Nya harus terjadi? Saya yakin Anda akan menjawab “ya’ jika Anda pernah mengucapkan Doa Bapa Kami. Dalam doa itu ada kalimat ” Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga”. Setiap orang Kristen seharusnya percaya. Tetapi, setiap kali saya mendengar orang berbicara tentang iman Kristen sebagai pandangan fatalistik, saya bisa mengerti karena di antara orang Kristen sendiri ada yang percaya (seperti pengikut agama lain) dan menafsirkan bahwa Tuhan yang mahakuasa selalu memaksakan kehendak-Nya agar terjadi (bandingkan dengan pengakuan Westminster bab 9). Sebenarnya, jika ada satu hal yang tidak dimiliki oleh Kekristenan adalah fatalistisme yang tersamar seperti ini.

Hari ini firman Tuhan mengingatkan kita bahwa kita tidak perlu memakai pandangan fatalis untuk menjelaskan kedaulatan Tuhan. Tuhan berdaulat, tetapi keputusan manusia adalah penting supaya kebesaran Tuhan dinyatakan. Pandangan fatalistik bukan meninggikan kedaulatan Tuhan, tetapi sebaliknya merendahkan Dia, karena kita membatasi cara kerja-Nya. Kita tidak dapat menharapkan Tuhan berindak atas nama diri kita, karena setiap manusia harus bertanggung jawab atas hidupnya; dalam setiap tindakan dan pekerjaan kita. Kita bekerja untuk kemuliaan-Nya, bukan karena ditentukan, tetapi dengan kerelaan. Karena itulah kita harus berusaha mencari kehendak Tuhan sebelum kita mengambil keputusan. Jika kita yang sudah menerima Roh Kudus tidak bertindak atau tidak mau memilih apa yang baik, itu pun adalah tindakan yang harus kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan.

Jika kita tidak mau bertindak, berubah, atau memilh apa yang lebih baik karena kita menganggap Tuhan sudah menetapkan hidup kita, itu pun keputusan yang kita pilih dan harus dipertanggungjawabkan. Jika kita memandang Tuhan sebagai Oknum yang tidak memberi kebebasan memilih, itu pun keputusan kita yang tidak menghargai kebijaksanaan Tuhan yang sudah menciptakan kita sebagi gambar-Nya. Tuhan yang berdaulat tidak akan terkejut jika kita membuat tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya; sebaliknya kita akan terkejut jika apa yang kita kehendaki ternyata tidak terjadi karena kita mengabaikan firman-Nya.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” Amsal 3: 5-6

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s