Apakah kekuatanku, sehingga aku sanggup bertahan, dan apakah masa depanku, sehingga aku harus bersabar? Apakah kekuatanku seperti kekuatan batu? Apakah tubuhku dari tembaga? Bukankah tidak ada lagi pertolongan bagiku, dan keselamatan jauh dari padaku? Ayub 6: 11-13

Meninggalnya pendeta, pengkhotbah dan dosen teologi Dr. Timothy Keller pada usia 72 tahun seminggu yang lalu mengingatkan banyak orang pada kata-kata terakhirnya: “Tidak ada kerugian bagi saya untuk pergi, tidak sedikit pun.” Saat meninggal beliau didampimgi oleh Kathy, istri beliau selama 48 tahun. Putra mereka, Michael, mengabarkan bahwa Tim mencium dahi Kathy dan kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.
Ketika Dr. Keller mengumumkan diagnosis kanker pankreasnya pada tahun 2021, beliau berkata, “Sungguh melegakan memiliki Tuhan yang jauh lebih bijaksana dan lebih pengasih daripada saya. Dia memiliki banyak alasan yang baik untuk semua yang Dia lakukan dan izinkan, yang walaupun tidak dapat saya ketahui, memberi harapan dan kekuatan kepada saya.”
Bagi saya, Tim adalah seorang pengajar teologi praktis yang dengan lemah lembut bisa meyakinkan pendengarnya tentang berbagai topik-topik kekristenan. Yang paling berkesan bagi saya ialah pernyataannya bahwa Tuhan berdaulat 100 persen, tetapi manusia beranggung jawab 100 persen atas hidupnya. Tuhan bisa menyembuhkan sakit beliau jika itu sesuai dengan kehendak-Nya, tetapi beliau yakin untuk tetap berobat dan berdoa untuk mendapat kesembuhan.
Saya tahu banyak ada orang Kristen yang mengaku Tuhan berdaulat 100 persen atas hidupnya, dan pergi ke dokter dan minum obat jika sakit, tetapi menyanggah kenyataan bahwa merekalah yang harus memutuskan untuk berobat dan mau tetap berdoa untuk kesembuhan. Tim Keller tidak berpendirian sedemikian, beliau bukan seorang Kristen fatalis yang sangat meninggikan kedaulatan Tuhan di atas kasih-Nya. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang mematikan kehendak dan tanggung jawab manusia. Tuhan kita tidak membuat kita menyerah kepada “nasib”, tetapi justru memberi kita kekuatan dan kebijaksanaan untuk bertindak, serta ketabahan dalam menghadapi masalah kehidupan.
Memang jika ada yang lebih bisa membuat orang gelisah, itu adalah masa depan yang suram dan kematian. Masa depan yang suram membuat setiap orang menjadi masygul karena merasa bahwa tidak ada yang bisa diperbuatnya. Jika seluruh negara dan bahkan seluruh dunia mengalami pandemi dan resesi, itu terasa sebagai suatu hal yang terlalu besar untuk ditolak atau diperangi seorang manusia. Apakah kekuatanku, sehingga aku sanggup bertahan, dan apakah masa depanku, sehingga aku harus bersabar? Begitulah seruan Ayub yang menghadapi bencana hidupnya, dan mungkin juga seruan kita saat ini. Ini sulit dijawab karena kita yang tidak tahu apa yang terjadi esok hari, tentunya tidak tahu apa yang akan terjadi minggu depan, bulan depan atau tahun depan. Kita tidak tahu kapan dan bagaimana kita akan meninggalkan dunia ini. Semua itu belum dinyatakan Tuhan kepada kita, tetapi kita tetap harus mau untuk mengambil keputusan, bekerja, berusaha, sambil berdoa.
Kebimbangan akan masa depan juga terjadi karena kesadaran atas keterbatasan kita. Membayangkan perjuangan berat selama adanya pandemi bisa membuat kita kuatir untuk kemungkinan terjadinya hal serupa di masa mendatang. Selain itu, kita dapat melihat bahwa dunia belum juga kembali kepada keadaan sebelum pandemi. Ekonomi masih tersendat-sendat dan biaya hidup makin meningkat.Dalam keadaan seperti ini kita mungkin menjerit seperti Ayub: “Apakah kekuatanku seperti kekuatan batu? Apakah tubuhku dari tembaga? Bukankah tidak ada lagi pertolongan bagiku, dan keselamatan jauh dari padaku?”
Jika orang yang tidak mengenal adanya Tuhan menjadi masygul karena tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, dan juga karena tidak tahu apakah ia akan sanggup untuk mengatasi tantangan hidupnya, orang yang percaya adanya Tuhan tentunya bisa mempunyai reaksi yang lain. Mereka yang percaya bahwa Tuhan memberikan upah-Nya untuk mereka yang memiliki hidup suci dan rajin beramal ibadah, selalu berharap bahwa Tuhan akan memberikan apa yang baik di masa depan. Tetapi, orang yang sedemikian tidak akan bisa sepenuhnya yakin apakah mereka akan dapat menjalani hidup yang sesuai dengan perintah Tuhan dan beramal ibadah. Mereka hanya bisa berdoa agar amal ibadahnya diterima oleh Tuhan. Ini pun adalah fataliisme.
Dibandingkan dengan orang yang beragama lain, orang Kristen mempunyai pandangan yang berbeda. Mereka percaya bahwa penderitaan apa pun tidak dapat memisahkan mereka dari kasih Kristus. Kristus sudah menebus mereka di kayu salib, karena itu mereka sudah menerima anugerah keselamatan sekarang juga. Mereka tidak perlu membeli keselamatan melalui kurban dan amal ibadah. Mereka tidak bisa membeli kasih Tuhan dengan berbuat baik. Masa depan sesudah menyelesaikan hidup di dunia tidak perlu dipikirkan sekalipun keadaan di dunia ini menjadi sangat berat, itu karena keselamatan jiwa mereka sudah terjamin.
Lalu bagaimana dengan masa depan di dunia, selagi kita masih hidup? Ini bukanlah hal yang sulit dipecahkan. Tuhan yang sanggup memberi anugerah yang terbesar, yaitu anugerah keselamatan, adalah Tuhan yang mahakuasa yang pasti sanggup mengatasi segala sesuatu yang terjadi di dunia dan memberikan apa yang baik yang sesuai dengan kehendak-Nya. Sekalipun kita lemah secara jasmani, Tuhanlah yang mahakasih sanggup menguatkan kita dan menolong kita. Tetaplah bertahan dan bersabar untuk pertolongan-Nya!
“Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” Roma 8:35